Minggu, 31 Januari 2016

Peratanian Rakyat dan Perusahaan Perkebunan



BAB I PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Sektor pertanian menduduki posisi yang sangat strategis dalam pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan bidang perekonomian baik dalam lingkup nasional maupun regional (Provinsi), karena sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Oleh karena itu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan menjadi sangat strategis sifatnya dan dapat ditempuh dengan meningkatkan produksi tanaman pangan dan perkebunan atau dengan menaikkan harga yang mereka terima dari produk-produk yang dihasilkannya (Arintadisastra. 2002). Lebih rinci dikemukkan oleh Simatupang (1998) “ sebagai negara yang sedang berkembang, pembangunan sektor pertanian di Indonesia masih mendapat prioritas tingi karena:
1.      peranannya yang sangat menonjol dalam perekonomian, ditunjukkan dengan  besarab persentase kontribusi sektor pertanian terhadap PDB;
2.      menunang perekonomian pedesaan dimana sektor sebagian besar penduduknya bermukm;
3.      sebagai penyerap tenaga kerja terbesar;
4.      pengaruhna yang besar terhadap dinamika inflasi karena memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen;
5.      sebagai penyedia bahan baku sektor industri, memnuhi sektor jasa dan sektor-sektor lainnya
6.      sebagai pengasil bahan kebutuhan pokok bagi penduduknya, dan;
7.      akselerasi pembangunan sektor pertanian sangat penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor. Bagi provinsi Jambi, sektor pertanian merupakan modal dan penggerak utama roda perekonomian secara keseluruhan.  Dengan kata lain pertumbuhan perekonomiannya sangat tergantung pada dinamika sektor pertanian.  Bila sektor pertanian tumbuh dengan baik, sektor-sektor lainnya akan ikut bergerak dan sebaliknya, bila sektor pertanian mengalami stagnan atau meglami pertumbuhan yang negatif , maka pergerakan roda perekonomiannya akan terganggu. Karena perannya yang sangat penting tersebut, kinerja (prestasi) sektor pertanian baik per tahunmaupun dalam satu periode tertentu perlu dipantua secara berkesinambungan, disamping sebagai bahan evaluasi juga dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam penyusnan perencanaan sampai pada pelaksanaan program pembangunan pertanan yang lebih terarah pada masa-masa berkutinya.


B.      Rumusan Masalah
1.      Mengetahui mengenai Pengertian Peratanian Rakyat dan Perusahaan Perkebunan
2.      Mengetahui mengenai Pertanian Di Provinsi Jambi
3.      Mengetahui mengenai Data Pertanian  Komoditas padi dan Palawija  di Provinsi Jambi
4.      Mengetahui mengenai Gambaran Umum Pertanian di Provinsi Jambi




















BAB II PEMBAHASAN
         A.         Pengertian Peratanian Rakyat dan Perusahaan Perkebunan






















         B.         Pertanian Di Provinsi Jambi
Selama periode 2000 – 2005 kontribusi sektor pertanian Provinsi Jambi terhadap PDRBnya, baik berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan menunjukkan kecendrungan yang s emakin menurun.  Berdasarkan harga berlaku dari 32,18 % pada tahun 2000 Menjadi 26,92 % pada tahun 2005.  Berdasrkan hara konstan dari 32,18 % pada tahun 2000 menjadi 30,20 % pada tahun 2005. Walalupun secara persentase kontribusinya semakin menurun, namun secaa nominal mengalami kenaikan.  Berdasarkan harga berlaku pertumbuhannya mencapai 15,34 %/tah, sedangkan berdasarkan harga konstan pada tahun 2000 pertumbuhannya 4,35 %/th.   Sebaliknya pada agregat sektor non pertanian persentase kontribusinya terhadap PDRB cenderung meningkat.  Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan bidang ekonomi sudah mengarah pada keberhasilan. Indikatornya adalah terjadinya tranfromasi struktural perekonomian dari sektor pertanian ke sektor lain terutama ke sektor industri pengolahan (J suprant, 1983). Secara rinci perkembangan distribusi nilai nominal  dan persentase kontribusi sektor pertanian dan agregat sektor non pertanan disajikan pada Tabel 1. 
Tabel 1.  Kontribusi sektor pertanian dan agregat sektor non pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi Periode 2000 -2005.
Tahun
Atas harga berlaku
Atas Harga Konstan 1993, 2000 a)
Nilai
kontri
pertum
Nilai
kontri
pertum
(Rp Juta)
Busi (%)
buhan(%)
(Rp Juta)
Busi (%)
buhan(%)
Sektor  Pertanian





2000
3.079.258
32,18
-
3.079.258
32.18
-
2001
3.522.932
30,55
14,41
3.193.569
31.29
3,71
2002
4.159.218
29,84
18,06
3.348.407
31
4,85
2003
4.729.041
29,69
13,70
3.467.459
30.56
3,56
2004
5.311.137
28,75
12,31
3.643.091
30.48
5,08
2005
6.279.357
26,92
18,23
3.811.541
30.2
4,61
Rata-Rata
4.476.442
2,16
15,34
 3.423.988
30.95
4,35
Agregat Sektor NonPertanian





2000
6.489.985
67,92
-
6.489.985
67,92
-
2001
8.308.852
69,45
28,03
7.012.023
68,71
8,04
2002
9.781.320
70,16
17,72
7.456.016
69,00
6,33
2003
11.199.480
70,31
14,50
7.876.021
69,46
5,63
2004
13.173.237
71,25
17,62
8.310.194
69,52
5,51
2005
14.433.573
73,08
9,57
8.808.431
69,80
6,00
Rata-Rata
10.564.408
70,84
17,49
7.659.270
69,05
6,30
Sumber : a. BPS dan bappeda Provinsi Jambi (2006)
   b. Diolah (2007)
Keterangan: *) Dari 8 (delapan) sektor dengan migas


Secara umum angka pertumuhan yang banyak digunakan untuk menilai pertumuhan ekonomi adalah rata-rata pertumbuhan berdasarkan angka konstan.  Baik bedasarkan harga berlaku maupn berdasarkan harga konstan masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.  Kelebihan menggunakan pertumbuhan baerdasarkan harga berlaku adalah pertumbuhan tersebut sudah memasukkan unur inflasi, yang menggambarkan kondisi perekonoman yang sesuangguhnya.  Sedangkan pertumbuhan berdasarkan harga konstan kelebhannya dapat digunakan untuk mengevalasi kemajuan perekonomuam dari sisi produksi dalam satu periode tertantu. Dilhat lebh rinci, dari semblan sektor, rata=trata pertumbuhan sektor pertanian berada di urutan ke delapan di atas sektor pertabangan dan penggalian.  Sektor industri pengolahan) dan jasa yang dihrapakan dapat menampung limpahan tenaga kerja sektor pertanian dan sumbangannya terhadap PDRB terus bertambah sebanding dengan penurunan kontribusi sektor pertanian, hanya berada pada uruatan keenam dan ketujuh dengan pertubuhan masing-masing 5,20 %/th dan 4,93 %/h.


         C.         Data Pertanian  Komoditas padi dan Palawija  di Provinsi Jambi

Luas panen padisawah, padi ladang dan 4 9empat) tanaman palawija utama selama periode 2000 – 20005 mengalami penurunan sebesar 11,15 % dari 195.715 ha pada tahun 2000 menjadi 173.898 ha pada tahun 2005 dengan penurunan 2,30 %/th.  Dilihat per tanaman luas areal, penurunan luas areal panen terbesar terjadi pada luas panen padi ladang seluas 10.455 ha, diikuti luas panen padi sawah 5.006 ha, dan luas panen ubi kayu 1.916ha.  sedangkan dilhat dari pertumbugan (%/th), penuruanan terbesar terjadi pada tanaman kedelai diikuti jagung dengan laju penuruanan masing-masing minus 8,33 %/th dan minus 5,18 %/th. Dari keenam tanaman pangan, walalupun luas panennnya mengalami penurunan tetapi produksinya pada tahun 20005 lebihtinggi dari tahun 2000 adalah padi sawah dan jagung.  Hal ini disebabkan laju pertumbuhan produksi dan produktivitas padi sawah dan jagung lebih tingggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan (minus) luas panennya.  Bila pertumbuhan luas panen masing-masing kedua tanaman adalah minus 0,30 %/th dan minus 5,18 %/th, pertumbuhan produktivitasnya masing-masing 3,48 %/th dan 11,02 %/th (tabel 4).  Dengan data tersebut di atas menunjukkkan adanya perbaikan dalam proses berproduksi tanaman padi sawah dan jagung, sehinggga posisi Provinsi Jambi sebagai daerah surplus beras tetap terjaga seperti yang terlhat pada Tabel 3. 


Tabel 2.  Perkembangan dan pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas padi                dan palawija di Provinsi  Jambi, Periode 2000 – 2005. 
Tanaman
Tahun      
AG (5/th)
2000
2005

Luas panen (ha)



1. Padi sawah + Padi ladang
171.395
156.571
1,76)
2. Padi sawah
135.187
130.181
(0,30)
3. padi ladang
36.208
25.753
(0,67)
4. Jagung
12.496
9.308
(5,18)
5. Kedelai
4.301
2.798
(8,33)
6. Kacang tanah
2.394
2.008
(2,38
7. Ubi kayu
5.129
3.213
2,90
Jumlah
195.715
171.898
(2,30)
Produksi (ton)



1. Padi sawah + Padi ladang
536.779
581.648
1,63
2. Padi sawah
456.884
520.38
2,65
3. padi ladang
79.895
61.268
(4,65)
4. Jagung
24.875
30.67
4,36
5. Kedelai
4.233

3.732
6,32)
6. Kacang tanah
2.446
2.308
(6,75)
7. Ubi kayu
54.594
40.737
(5,50)
Produktivitas (t/ha)



1. Padi sawah + Padi ladang
3,13
3,71
2,33
2. Padi sawah
3,38
4,00
3,48
3. padi ladang
2,21
2,38
1,53
4. Jagung
1,99
3,30
11,02
5. Kedelai
0,98
1,33
6,87
6. Kacang tanah
1,02
1,15
2,47
7. Ubi kayu
10,64
12,68
3,65
Sumber : Disperta Provinsi Jambi (2006) diolah (2007)
Keterangan : *) Tidak termasuk Padi sawah + Padi lading
 AG (average Grouth) rata-rata pertumbuhan selama periode 2000 – 20005







Tabel 3.  ketersediaan dan konsumsi beras di Provinsi Jambi Periode 2000 – 2005
Uraian
Ketersediaan (ton)
Konsumsi (ton)
Neraca (ton)
2000
315.156
315.156
18.084
2001
321.13
321.13
24.393
2002
326.373
326.373
21.908
2003
359.044
338.105
20.939
2004
366.599
344.283
22.316
2005
378.31
350.083
28.227
Sumber : a. Disperta Provinsi Jambi (2003 dan 2006)
b. Diolah (2007)

Penurunan luas panen padi dan palawija utama disebabkan oleh: (1) terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan ke penggunaan lain terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit; (2) bertmabahnya luas areal lahan yang untuk sementara waktu tidak diusahakan sehingga menjadi lahan tidur; (3 terjadinya serangan OPT yang eksplosif, dan bencana alam seperti banjir dan kemarau panjang yang menyebabkan gagalpanen dalama skala besar.  Dari ketifa faktor tersebut di atas, alih fungsi lahan tanaman pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya penurunan luas panen yang bersifat permanen, sedangkan dua faktor lain bersifat sementara.
Di lain ssi dialihkannnya lahan pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan bertambahanya luas areal yang sementara waktu tidak diusahakan sehingga menjadi lahan tidur disebabkan oleh beberapa faktor.  Diantaranya yang paling menojop adalah hasil yangdiperoleh dari mengusahakan tanaman panhgan tidak sepadan dengan krobanan (biaya dan tenaga kerja) yang dikelurkan.  Dengan anya mengusahakan/menanam tanaman pangan petani tidak dapat berhaap banyak untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya bahkan untuk mencukupi kebutuhan minimal (sandang, pangan, dan papan) saja terasa sangat sulit.  Sedangkan penghidupam petani kelapa sawit yang mereka lihat sendiri atau mendengar cerita petani lain jauh lebih baik, indikator yang digunaamn adalah: (1) kondisi dan perlenkapan rumah yang “bagus” dan “mahal” ; (2) setiap rumah tangga minimal memiliki satu unit sepeda motor, dan; (3 mampu membiayai pendidikan anak-anakanya hingga perguruan tinggi (Minsyah, 2006). 
Hasil yang rendah tidak sesuai dengan korbanan bisa dalam bentuk produksi dan atau dalam bentuk nilai produksi (harga jual).  Pada kasus di bekas lokasi transmigrasi Muara sabak dan Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terjadi adalah produksi padi dan tanaman pangan lainnya telah jauh berkurang.  Sebagai contoh produksi padi yang diperoleh pada tahun 1998 sangat rendah bahkan beberapa dianataranya tdak lebih dari 0,5 ton GKG/ha (Alihamsyah, dkk 2000).
 Akibatnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sebagian petani-petani di kedua kecamatan tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama ( 2- 4 tahun) bekerja serabutan, ada yang menjadi buruh tani terutama menjadi buruh pada perkebunan di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit antara lan: 1) di Kecamatan Merlung Kabupaten Tanjung Jabung Barat; (2) di bekas lokasi transmigrasi Pamenang Kabupaten Merangin; (3) di bekas lokasi transmigrasi Sungai bahar dan Petaling Jaya di Kabupaten Muaro Jambi, dan; (4) bahan sampai di sentra produksi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau (Sitanggang, dkk. 2004).  Bagi petani yang tidak “merantau”  untukmencukupi kebutuhan sehari-harinya, mereka menyewa atau menggarap lahan milik petani lain yang kondisi lahannnya relatif jauh lebih baik, lahan tersebut umumnya di milikii oleh petani beretnis Bugis antara lain di di desa kampung dalam Kecamatan Berbak (Dulu masuk Kecamatan Rantau rasau), Lambur Luar Kecamatan Muara Sabak, dan desa-desa lain yang ada di sekitarnya. 
Berbekal penhalaman menjadi buruh pada perkebuna kelapa sawit, sekembalinnya  dari perantauan mengalih fungsikan seluruh atau sebagian lahan panggannnya menjadi kebun kelapa sawit.  Pengalih fungsian lahan pangan ini kemudian juga diikuti oleh petani-pertani lain.  Hasil penelitian Sitanggang dkk (2004) menemukan bahwa di kedua kecamatan tersebut di atas, dari 99,20 ha lahan pangan milik 80 responden (petani) 33,95 ha atau 34,22 % diantaranya paling tidak telah direncanakan untuk dialih fungsikan menjadi kebun kelapa sawit.  Hal tersebut di dukung oleh data yang diterbitkan oleh Dinas perkebunan Provnsi Jambi(2004 dan 206) bahwa hanya dalam kurun waktu selama dua tahun (2003 – 2005) luas areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah bertambah seluas 3.813 ha atau 57,34 % dari 66.50 ha pada tahun 2002 menjadi 10.403 ha pada tahun 205 (Disbun Provins jambi, 2006).  Luas areal tersebut belum termasuk kebun kelapa sawit yang dtanam oleh petani secara mandiri (swadaa murni).  Menurut salah seorang staf  Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat (kabupaten Tanjung Jabung Timur) dalam Minsyah, (2007) luas kebun kelapa sawit yang ditanam secara mandiri di Kabupaten tanjung Jabung Timur sampai pada tahun 204 tidak kurang dari 4.000 ha. 
Pada kasus di bekas lokasi transmigrasi Pamenang A di Kabupaten Merangin dan Petaling Jaya di Kabupaten Muaro Jambi, dialhkannya lahan pangan menjadi areal pertanaman kelapa sawit dipicu oleh tidak tersedianya air yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman pangan utamanya padi.  Pada msih menanam tanaman pangan satu-satunya sumber air untuk pertanamannnya adalah air hujan.  Hal ini berarti air yang sangat dibuthkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat tergantung dari hujan dan umunya hanya tersedia pada muism hujan.  Sedangkan pada musim kemarau disamping ketidak tersediaan air, tanaman yang diusahalan seringa gagal panen karena terserang  karena terserang beberapa jenis hama dan penyakit. 
Faktor lain yang memicu terjadinya alh fungsi lahan pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit adalah nilai produksi tanaman pangan sangat fluktuaitf yang cenderung merugikan petani. Pada masa penanaman hingga menjelang panen harga di pasar lokal cenderung terus meningkat, begitu memasuki masa panen harga-hara tersebut mengalami penurunan yang cukup tajam.  Sebagai contoh harga beras di kawasan kegiatan Pewilayahan Komoditas Pertanian di Kecamatan Muara Tembesi Kabupaten Batanghari yang kualitasnya sama dengan kualitas beras yang dihasilkan petani setempat, 2 (dua) bulan sebelum hinggga menjelang panen berkisar antara Rp 2.750,- - Rp 3.000,- /kg, pada masa panen tersebut turun menjadi 2,300,-/kg – Rp 2.600,-/kg dan harga ditingkat petani hanya berkisar antara Rp 2.000,-/kg – Rp 2.250,-/kg.  hal yang sama juga terjadi dengan komoditas lain yang ditanam petani (Busyra, dkk. Dalam Minsyah, 2007).
Dalam bahasa ekonomu tinkah laku pasar yang c endrung merugikan petani tersebut merupakan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan kapasitas produksinya.  Bahkan lebih jauh, bila da kesempatan seperti menjadi peserta sebagai petani plasma pada perusaghaan perkebunan kelapa sawit baik dari PTPN maupun dari PBS atau adanya program perluasan areal perkebunan dari pemerintah, atau; mereka sendiri telah memiliki biaya atau dana, mereka akan mengalihkan sebagian atau seluruh lahan pangannnya menjadi areal perkebuna  kelapa sawit atau karet yang dianggap (secara ekonomi) jauh lebih menguntungkan. 

         D.         Gambaran Umum Pertanian di Provinsi Jambi






















BAB III PENUTUP
Kesimpulan
1.      Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bagian (BAB III) hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Dari sisi pertumbuhan PDRB, pembangunan bidang ekonomi di Provinsi Jambi selama periode 2000 – 20005 sudah mengarah pada keberhasilan.  Salah satu indikatornya adalah terjadinya transfromasi struktural PDRB, dimana kontribusi sektor pertanianb secara konsisten mengalami penuruanan dari 32,18 % pada tahun 2000 menjadi 26,92 % pada tahun 20005.  sebalknya pada agregat sektor non pertanian menalami peningkaan dari 67,92 % pada tahun 2000 ,emkadi 73,08 % pada tahun 2005.  walalupun demikian peranan sektor pertanian masih sangat menonjol dalam menggerakan roda perekonomiam Provinsi Jambi.   
2.      Dari siksi lain, meningkatnya kontribusi agregat sektor non pertanian terhadap PDRB secara konsisten ternyata secara persentase tidak diikuti peningkatan kesempatan kerja yang konssten pula. Peningkatan kesempatan kerja pada agregat sektor non pertanian hanya terjadi pada sub periode 2000 – 2003, pada sub periode selanjutnya (2003 – 2005)mengalami penurunan, sebaliknya pada sektor non pertanian mengalami peningkatan.  Adanya ketida konsistenan antara kontribusi terhadap PDRB dan pertumbuhan kesempatan kerja in perlu didentifikasi untuk mengetahui faktor penyebab sesungguhnya.




















DAFTAR PUSTAKA 
Alihamsyah, T. ananto, EE, Supriadi, H. wahyuni, S. Suhartatik, E. Nugroho, K. dan Sutrisna , N. 2000.  karakterisasi Lahan Pasang  Surut  Di Scheme Rantar rasau dan Pamusiran Wilayah pengembangan ISDP Provinsi Jambi,> Proyek Peneltian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Terpadu –ISDP, Bogor.  

Arintadisastra, S. 2002.  Membangun Pertanian Modern.  Yayaysan Pengembangan Snar Tani, Jakarta.  

Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi, 2006.  Indikator Ekonomi Provinsi Jambi, Tahun 2005.  Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Badan perencanaan Pembangan Daerah Provinsi Jambi, Jambi.  

Dinas pertanian tanaman pangan Provinsi Jambi, 2006.  data Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2005.  Dnas Pertanian tanaman Pangan Provinsi Jambi, Jambi. 
Kanisius. 1989.  Budidaya Kopi. Kanisius, Jogyakarta.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar