Minggu, 31 Januari 2016

Manajemen Berbasis Aktivitas (Activity-Based Management)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat sertakarunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Manajemen Berbasis Aktivitas(Activity Based Management)”.

Makalah ini berisikan tentang informasi  Pasar Bebas Dan Proteksi-Tinjauan. Diharapkan Makalah ini dapat bermafaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata,saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.





Lubuklinggau, 5 Mei 2014

Penyusun


Kelompok 2


BAB I
PENDAHULUAN
       1.1       Latar Belakang
Akuntansi aktivitas adalah factor penting untuk mengoperasionalkan perbaikan berkelanjutan, meningkatnya persaingan harus terus mencari berbagai cara untuk unggul dari perusahaan lain, contohnya dengan mengurangi biaya dan meningkatkan efesiensi. Nilai terhadap pelanggan sangat penting sehingga perusahaan dituntut agar memberikan barang atau jasa yang bermanfaat bagi penggunanya dan tentunya berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Memperbaiki berbagai proses berarti memperbaiki cara berbagai aktivitas yang terkait, jadi manajemen berbagai aktivitas bukan biaya adalah kunci keberhasilan pengendalian bagi perusahaan yang beroperasi dalam lingkungan perbaikan yang berkelanjutan. Perwujudan dari berbagai aktivitas tersebut adalah hal penting untuk perbaikan perhitungan biaya dan pengendalian yang lebih baik mengarah pada pandangan baru atas berbagai proses bisnis yang disebut sebagai manajemen berdasarkan manajemen aktivitas.
       1.2       Rumusan masalah
  1. Apakah Manajemen Berdasarkan Aktivitas Itu dan Hubungannya dengan Perhitungan Biaya Berdasarkan Aktivitas ?
  2. Bagaimana Analisis Proses Nilai ?
  3. Deskripsikan Ukuran Kinerja Aktivitas ?
  4. Bagaimana Perhitungan Biaya Pelanggan dan Pemasok berdasarkan aktivitas ?
       1.3       Manfaat dan tujuan
Mengetahui system hubungan perhitungan biaya produk berdasarkan aktivitas dan manajemen berdasarkan aktivitas, analisis nilai proses dan ukuran kinerja aktivitas.


BAB II
PEMBAHASAN
       2.1       Pengertian Manajemen Berbasis Aktivitas (Activity-Based Management)
Manajemen berbasis aktivitas adalah pendekatan pengelolaan terpadu dan bersistem terhadap aktivitas dengan tujuan untuk meningkatkan cuntomer value dan laba yang dicapai dari penyediaan value tersebut. Dari definisi ini, terdapat dua frasa penting, yaitu :
          a.         Berfokus ke pengelolaan secara terpadu dan bersistem terhadap aktivitas
Yaitu serangkaian kegiatan yang membentuk suatu proses untuk pembuatan produk dan penyerahan jasa. Di dalam manajemen tradisional, proses pembuatan produk dan penyerahan jasa dipecah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, karena diyakini bahwa jika pengerjaan bagian-bagian yang lebih kecil dilaksanakan secara berkualitas dan efisien, proses pembuatan produk dan penyerahan jasa secara keseluruhan akan berkualitas dan efisien. Oleh karena itu, manajemen berbasis aktivitas berusaha memadukan kembali proses pembuatan produk dan penyerahan jasa yang telah difragmentasi dalam manajemen tradisional tersebut, dengan memfokuskan ke pengelolaan secara terpadu dan berbasis system terhadap aktivitas pembuatan produk dan penyerahan jasa.
         b.         Bertujuan untuk meningkatkan customer value dan laba
Tujuan manajemen berbasis aktivitas adalah untuk improvement secara berkelanjutan terhadap customer value dan penghilangan pemborosan. Dengan hilangnya pemborosan tersebut, biaya dapat berkurang dan sebagai akibatnya laba akan meningkat. Pengurangan biaya merupakan akibat dari dihilangkannya pemborosan. Pemborosan diakibatkan oleh adanya aktivitas-bukan-penambah nilai (non-value-added activity) dan aktivitas penambah nilai (value-added activity) yang tidak dilaksanakan secara efisien. Dengan demikian focus manajemen berbasis aktivitas adalah penyebab terjadinya biaya itu sendiri.



       2.2       Manajemen Berdasarkan Aktivitas Dan Hubungannya Dengan Perhitungan Biaya Berdasarkan Aktivitas (Abc)
Manajemen berdasarkan aktivitas adalah pendekatan untuk keseluruhan system yang terintegrasi dan berfokus pada perhatian manajemen atas berbagai aktivitas dengan tujuan meningkatkan nilai bagi pelanggan dan laba yang dicapai dengan mewujudkan nilai ini.
ABC adalah sumber utama informasi manajemen berdasarkan aktivitas, sehingga model manajemen didasarkan pada dua dimensi:
  1. Dimensi biaya : memberikan informasi kepada sumber daya, aktivitas dan objek biaya yang menjadi perhatian seperti produk,pelanggan,pemasok,dan saluran distribusi dengan tujuan memperbaiki akurasi pembebanan biaya yang berguna untuk perhitungan harga pokok produksi, manajemen biaya strategis, dan analisis taktis.
  2. Dimensi proses ; memberikan informasi mengenai aktivitas apa saja yang dilakukan, mengapa harus dilakukan dan seberapa baik aktivitas tersebut dilakukan, tujuannya adalah untuk mengurangi biaya sehingga mampu untuk melakukan dan mengukur perbaikan berkelanjutan.
Hubungan ABM dengan perhitungan ABC
ABM melibatkan ABC dan menggunakannya sebagai sumber informasi utama dengan tujuan memperbaiki pengambilan keputusan dengan menginformasikan biaya yang akurat dan mengurangi biaya dengan mendorong serta mendukung berbagai usaha perbaikan berkelanjutan. 
Hubungan ABC dengan ABM terjadi karena ABM membutuhkan informasi dari ABC untuk melakukan analisis yang berhubungan dengan perbaikan yang berkesinambungan ABM untuk standar pemasaran.
Biaya pemasaran adalah biaya yang timbul karena terjadinya pertukaran dantara perusahaan dengan konsumen. Yang termasuk biaya pemasaran antara lain : Biaya promosi,  Biaya distribusi fisik, Biaya riset pasar, Biaya pengembangan produk.
Sistem ABC tidak hanya memperbaiki pengalokasian sumber daya salam suatu perusahaan tetapi dengan mudah dapat diimplementasikan tterhadap aktivitas pemasaran. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menerapkan sistem ABC terhadap aktivitas pemasaran sbb:
  1. Memilih segmen tertentu sebagai dasar untuk menganalisa profitabilitas. Contoh : daerah pengelompokan pelanggan dan lini produksi
  2. Menetapkan aktifitas pemasaran yang lebih terperinci untuk penggudangan, transportasi, kredit dan penagihan, aktifitas pemasaran umum, penjualan pribadi, periklanan dan promosi penjualan.
  3. Mengakumulasi biaya langsung dari semua aktifitas dan memisahkan biaya langsung tersebut kedalam katgori biaya variabel dan biaya tetap.
  4. Menentukan pemacu biaya untuk setiap aktifitas.
  5. Menghitung biaya per unit untuk setiap aktifias dengan membagi biaya aktifitas total dengan pemacu biaya yang dipilih
  6. Mengalokasikan biaya ke segmen tertentu untuk menganalisis profitabilitas segmen tersebut
  7. Membagikan biaya yang dianggarkan (biaya mandor) dengan biaya actual untuk setiap aktifitas pemasaran dan menghitung selisih harga & efisiensi
       2.3       Analisis Nilai Proses
Analisis nilai proses adalah hal yang fundamental bagi akuntansi pertanggungjawaban, yang berfokus pada akuntabilitas berbagai aktivitas sebagai ganti pada biaya dan analisis ini menekankan pada maksimalisasi kinerja keseluruhan system sebagai ganti kinerja individual. Analisis nilai proses membantu mengubah berbagai konsep akuntansi pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas dari tingkat konseptual menjadi operasional.
Analisis nilai proses memungkinkan untuk menentukan keuntungan kompetitif terdiri dari
-          Meningkatkan nilai bagi konsumen (costumer value)
Proses bisnis (atau value chain) adalah suatu mesin yang menghasikan nilai  dalam wujud produk atau jasa bagi konsumen yang ingin membeli. Peningkatan proses efektif  harus memulai  dengan pemahaman yang benar terhadap konsumen dan bagaimana atau mendefinisikan nilai, agar dapat menciptakan suatu sistem yang lebih efisien dari “garbage in, garbage out“.
-          Meningkatkan efisiensi proses (process efficiency)
Proses bisnis merupakan koleksi aktivitas yang menciptakan nilai bagi pelanggan. Dengan mengabaikan industri atau sektor, organisasi manapun berusaha memberikan nilai lebih secara efisien dibanding dengan saingannya yang mempunyai keunggulan kompetitif berbeda.  Peningkatan proses dimulai dengan pemahaman terhadap pelanggan dan bagaimana untuk mendefinisikan nilai.
Berdasarkan buku Akuntansi Manajemen (Hansen dan Mowen), analisis nilai proses (process value analysis) mendefinisikan pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas bukan pada biaya, dan menekankan maksimisasi kinerja sistem secara menyeluruh bukan kinerja individu. Analisis nilai proses memusatkan pada:
                      a.         Analisis penggerak
Analisis penggerak menekankan bagaimana untuk mencari penyebab utama biaya aktivitas. Dan dalam setiap aktivitas memiliki masukan dan keluaran. Masukan aktivitas merupakan sumber daya yang dibutuhkan oleh aktivitas untuk memproduksi keluaran, misalnya: membuat program komputer maka yang menjadi masukan adalah programmer, komputer, printer, kertas komputer dan disket. Sedangkan keluaran aktivitas adalah hasil atau produk dari aktivitas, dari contoh di atas maka keluarannya adalah program komputer.
                     b.         Analisis aktivitas
Fokus utama dari analisis nilai proses adalah analisis aktivitas. Analisis aktivitas menekankan pada bagaimana mengidentifkasi dan menentukan nilai. Analisis aktivitas akan menghasilkan empat hal : aktivitas apa yang telah dilakukan, berapa banyak orang yang melakukan aktivitas, waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk aktivitas, menentukan nilai aktivitas bagi organisasi termasuk rekomendasi untuk memilih dan mempertahankan aktivitas bernilai tambah.



                      c.         Pengukuran kinerja aktivitas
Hal yang mendasar bagi usaha manjemen dalam meningkatkan profitabilitas maka diperlukan pengukuran aktivitas seberapa baik proses yang telah dilakukan. Pengukuran ini dapat dilihat dari segi keuangan dan non keuangan. Ukuran ini juga dirancang untuk mengetahui adanya perbaikan berkelanjutan. Pengukuran kinerja aktivitas berpusat pada tiga dimensi utama yaitu: efisiensi , kualitas dan waktu.
       2.4       Ukuran Kinerja Aktivitas
Menaksir seberapa baik aktivitas dan proses dilakukan adalah landasan bagi usaha manajemen untuk memperbaiki profitabilitas. Adapun ukuran kinerja ini berpusat pada tiga dimensi utama : Efisiensi, Kualitas dan Waktu
Mengetahui seberapa baik kita saat ini dalam melakukan aktivitas seharusnya membuka potensi untuk melakukannya dengan baik. Karena banyak ukuran nonkeuangan yang akan dibahas pada perspektif proses balanced scorecard (akuntansi pertanggungjawaban berdasar strategi) juga berlaku pada tingkat aktivitas , maka bagian ini akan menekankan pada ukuran keuangan kinerja aktivitas . Ukuran keuangan untuk efisiensi aktivitas meliputi :
                      a.         Laporan biaya bernilai tambah dan tak bernilai tambah
Pelaporan ini adalah cara untuk meningkatkan efisiensi aktivitas. Suatu sistem akuntansi perusahaan seharusnya membedakan antara biaya bernilai tambah dan tak bernilai tambah karena memperbaiki kinerja aktivitas membutuhkan penghapusan tak bernilai tambah dan mengoptimalkan aktivitas bernilai tambah. Mengetahui jumlah biaya yang dihemat merupakan hal yang penting bagi tujuan strategis . Sebagai contoh , jika suatu aktivitas dihapus, maka biaya yang dihemat seharusnya dapat ditelusuri pada produk individual. Penghematan ini dapat menghasilkan penurunan harga bagi pelanggan dan membuat perusahaan lebih kompetitif.
Dengan membandingkan biaya aktual dengan  biaya aktivitas bernilai tambah, manajemen dapat menilai tingkat ketidak efisienan aktivitas dan menentukan potensi untuk perbaikan.Biaya bernilai tambah ( standar quantities – SQ) dapat dihitung dengan mengalikan kuantitas standar bernilai tambah dengan standar harga ( standar price – SP ). Biaya tak bernilai tambah dapat dihitung sebagai perbedaan anatara output aktual tingkat aktivitas (activity quantity – AQ) dan tingkat bernilai tambah ( SQ) dikalikan dengan biaya standar per unit.
Biaya bernilai tambah = SQ x SP
Biaya tak bernilai tambah = (AQ- SQ) SP
            Dimana, SQ  =   Tingkat keluaran bernilai tambah untuk suatu aktivitas 
                           SP  =   Harga standar per unit ukuran keluaran aktivitas
                          AQ =   Kuantitas actual dari keluaran aktivitas yang digunakan atau kuantitas
                                      actual dari kapasitas aktivitas yang diperoleh.
                     b.         Tren dalam laporan biaya aktivitas
Pelaporan ini menyatakan bahwa pengurangan biaya berjalan sesuai yang diharapkan. Hampir setengah biaya tak bernilai dihapuskan. Sebagai catatan perhatian, perbandingan biaya aktual dua periode akan menyatakan pengurangan yang sama. Namun, pelaporan biaya tak bernilai tambah tidak hanya menyatakan pengurangan namun juga dimana hal tersebut muncul. Hal ini memberikan informasi pada para manajer tentang berapa banyak potensi penurunan harga yang masih mungkin dilakukan. Dari pelaporan ini setidaknya para manajer tidak menjadi puas , namun seharusnya secara berkelanjutan mencari tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
                      c.         Penetapan standar Kaizen
Penghitungan biaya kaizen mengacu pada pengurangan biaya produk dan proses yang ada. Dalam istilah operasional, hal ini diartikan ke dalam pengurangan biaya tak bernilai tambah. Pengelolaan proses pengurangan biaya ini dipenuhi melalui pengulangan penggunaan dua subsiklus utama : 1). Siklus perbaikan berkelanjutan atau kaizaen dan 2). Siklus pemeliharaan. Siklus kaizen didefinisikan dengan urutan rencana->lakukan->periksa->bertindak (plan-do-check-act). Standar kaizen mencerminkan perbaikan yang direncanakan untuk periode berikut.
Siklus pemeliharaan mengikuti aturan standar-lakukan-periksa-bertindak (standard-do-check-act). Suatu standar dibuat berdasarkan perbaikan sebelumnya . kemudian tindakan diambil dan hasil periksa untuk memastikan bahwa kinerja tercapai pada tingkat baru ini. Jika tidak, maka tindakan korektif akan diambil untuk mengembalikan kinerja .
                     d.         Benchmarking
Langkah ini menggunakan praktik terbaik sebagai standar untuk mengevaluasi kinerja aktivitas. Tujuan benchmarking adalah untuk menjadi yang terbaik dalam melakukan aktivitas dan proses. Jadi, benchmarking seharusnya juga melibatkan pertbandingan dengan para pesaing atau industri lain.
                      e.         Perhitungan biaya siklus hidup
Tahap perencanaan produk dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap biaya aktivitas. Dalam kenyataanya, paling sedikit 90 persen atau lebih biaya yang berhubungan dengan suatu produk termasuk dalam tahap pengembangan dari daur hidup produk. Daur hidup produk secara sederhana adalah waktu keberadaan produk, dari pengkonsepan hingga tidak terpakai. Biaya daur hidup adalah semua biaya yang berhubungan dengan produk  keseluruhan daur hidupnya.
Karena kepuasan total pelanggan telah menjadi isu vital dalam persiapan bisnis baru , biaya hidup keseluruhan telah menjadi fokus utama dari manajemen biaya daur hidup. Biaya hidup keseluruhan adalah biaya daur hidup suatu produk plus biaya pasca pembelian oleh pelanggan yang meliputi operasional, dukungan, pemeliharaan dan pembuangan. Penghitungan biaya hidup keseluruhan menekankan pada manajemen kesleuruhan rantai nilai . Rantai nilai adalah kumpulan aktivitas yang dibutuhkan untuk merancang, mengembangkan, memproduksi, memasarkan dan melayani suatu produk. Jadi , manajemen biaya daur hidup memfokuskan pada aktivitas pengelolaan rantai nilai sehingga terbentuk keunggulan bersaing jangka panjang. Untuk mencapai tujuan ini, para manajer harus menyeimbangkan biaya hidup keseluruhan produk, metode pengiriman, inovasi dan berbagai atribut produk termasuk kinerja, keistimewaan yang ditawarkan, keandalan, kecocokan, ketahanannya, keindahannya dan kualitas yang dimilikinya.

Dari sudut pandang keseluruhan hidup, biaya produk memiliki empat elemen utama :
1)      Biaya yang tidak muncul lagi ( perencanaan, perancangan, dan pengujian),
2)      Biaya manufaktur,
3)      Biaya logistik,
4)      Biaya pasca pembelian dari pelanggan.
Manajemen biaya siklus hidup menekankan pada penurunan biaya, bukan pada pengendalian biaya. Jadi, penghitungan biaya target menjadi suatu alat khusus yang berguna untuk pembuatan tujuan penurunan biaya. Biaya target adalah perbedaan antara harga penjualan yang dibutuhkan untuk menangkap pangsa pasar yang telah ditentukan terlebih dahulu dan laba per unit yang diinginkan. Jika biaya target kurang dari apa yang saat ini dapat tercapai, maka manajemen harus menemukan penurunan biaya yang menggerakkan biaya aktual ke biaya target. Menemukan penurunan biaya ini adalah tantangan utama dari penghitungan biaya target.
Tiga metode penurunan biaya yang secara khusus digunakan, adalah :
1). Rekayasa berlawanan, 2). Analisis nilai , 3). Perbaikan proses.
Rekayasa berlawanan memilah produk pesaing untuk mencari lebih keistimewaan rancangan yang membuat penurunan biaya. Analisis nilai berusaha untuk menaksir nilai yang ditempatkan pada berbagai fungsi produk oleh pelanggan. Baik rekayasa yang berlawanan maupun analisis nilai memfokuskan pada desain produk untuk mencapai penurunan biaya. Proses yang digunakan untuk memproduksi dan memasarkan produk  juga sumber potensi pengurangan biaya. Jadi, proses perancangan ulang untuk memperbaiki efisiensinya juga dapat memberikan sesuatu untuk mencapai kebutuhan penurunan biaya.
Misalkan suatu perusahaan mempertimbangkan untuk produksi trencher (mesin penggali) spesifiikasi produk saat ini dan pangsa pasar yang ditarget meminta harga jual $ 250.000. Laba yang diminta adalah $50.000 per unit. Biaya target dihitung sebagai berikut:
Biaya target = $ 250.000 – $ 50.000
                                 = $ 200.000
Meskipun manajemen biaya daur hidup penting bagi semua perusahaan manufaktur, hal ini lebih penting lagi bagi perusahaan yang memiliki produk dengan daur hidup pendek. Produk harus menutup biaya daur hidup dan memberikan laba yang dapat diterima . Secara kontras , perusaaan yang memiliki produk dengan daur hidup pendek biasanya tidak memiliki waktu untuk bertindak dalam cara ini, sehingga pendekatan mereka harus proaktif. Jadi, untuk daur hidup pendek, perencanaan daur hidup yang baik merupakan hal yang penting dan harga harus dibuat   secara tepat untuk menutup semua biaya daur hidup dan memberikan hasil baik. Penghitungan biaya berdasar aktivitas dapat digunakan untuk mendorong perencanaan daur hidup yang baik. Dengan pemilihan penggerak biaya secara hati- hati , para perekayasa desain dapat dimotivasi untuk memilih desain dengan biaya minimum










BAB III
PENUTUP
       3.1       Kesimpulan
Manajemen berdasarkan aktivitas berfokus pada aktivitas dengan tujuan berfokus memperbaiki nilai bagi pelanggan dan meningkatkan profitabilitas yang kokoh. Analisis nilai proses melibatkan analisis penggerak biaya, analisis aktivitas, dan pengukuran kinerja. Dimensi ini lah yang menghubungkan analisis volume proses dengan konsep perbaikan lanjutan. Kinerja aktivitas dievaluasi dengan menggunakan tiga dimensi: efesiensi, kualitas dan waktu. Penulusuran biaya yang digerakkan pelanggan kepada pelanggan dapat menyediakan informasi penting untuk manajer. Keakuratan biaya pelanggan memungkinkan para manajer untuk membuat keputusan penentuan harga, keputusan bauran pelanggan, dan keputusan yang berhubungan dengan pelanggan secara lebih baik, sehingga dapat memperbaiki profitabilitas. Sama halnya, penulusuran biaya yang digerakkan pemasok kepada pemasok akan memungkiinkan manajer untuk memilih pemasok yang benar-benar berbiaya rendah sehingga menghasilkan keunggulan bersaing yang lebih tinggi dan meningkatkan profitabilitas.















DAFTAR PUSTAKA

·      Bambang Hariadi, Akuntansi Manajemen Sudut Pandang, BPFE, Yogyakarta, 2002
·      Don R. Hansen dan Maryanne M. Mowen, Akuntansi Manajemen, Erlangga, Jakarta, 1999







Peratanian Rakyat dan Perusahaan Perkebunan



BAB I PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Sektor pertanian menduduki posisi yang sangat strategis dalam pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan bidang perekonomian baik dalam lingkup nasional maupun regional (Provinsi), karena sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Oleh karena itu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan menjadi sangat strategis sifatnya dan dapat ditempuh dengan meningkatkan produksi tanaman pangan dan perkebunan atau dengan menaikkan harga yang mereka terima dari produk-produk yang dihasilkannya (Arintadisastra. 2002). Lebih rinci dikemukkan oleh Simatupang (1998) “ sebagai negara yang sedang berkembang, pembangunan sektor pertanian di Indonesia masih mendapat prioritas tingi karena:
1.      peranannya yang sangat menonjol dalam perekonomian, ditunjukkan dengan  besarab persentase kontribusi sektor pertanian terhadap PDB;
2.      menunang perekonomian pedesaan dimana sektor sebagian besar penduduknya bermukm;
3.      sebagai penyerap tenaga kerja terbesar;
4.      pengaruhna yang besar terhadap dinamika inflasi karena memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen;
5.      sebagai penyedia bahan baku sektor industri, memnuhi sektor jasa dan sektor-sektor lainnya
6.      sebagai pengasil bahan kebutuhan pokok bagi penduduknya, dan;
7.      akselerasi pembangunan sektor pertanian sangat penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor. Bagi provinsi Jambi, sektor pertanian merupakan modal dan penggerak utama roda perekonomian secara keseluruhan.  Dengan kata lain pertumbuhan perekonomiannya sangat tergantung pada dinamika sektor pertanian.  Bila sektor pertanian tumbuh dengan baik, sektor-sektor lainnya akan ikut bergerak dan sebaliknya, bila sektor pertanian mengalami stagnan atau meglami pertumbuhan yang negatif , maka pergerakan roda perekonomiannya akan terganggu. Karena perannya yang sangat penting tersebut, kinerja (prestasi) sektor pertanian baik per tahunmaupun dalam satu periode tertentu perlu dipantua secara berkesinambungan, disamping sebagai bahan evaluasi juga dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam penyusnan perencanaan sampai pada pelaksanaan program pembangunan pertanan yang lebih terarah pada masa-masa berkutinya.


B.      Rumusan Masalah
1.      Mengetahui mengenai Pengertian Peratanian Rakyat dan Perusahaan Perkebunan
2.      Mengetahui mengenai Pertanian Di Provinsi Jambi
3.      Mengetahui mengenai Data Pertanian  Komoditas padi dan Palawija  di Provinsi Jambi
4.      Mengetahui mengenai Gambaran Umum Pertanian di Provinsi Jambi




















BAB II PEMBAHASAN
         A.         Pengertian Peratanian Rakyat dan Perusahaan Perkebunan






















         B.         Pertanian Di Provinsi Jambi
Selama periode 2000 – 2005 kontribusi sektor pertanian Provinsi Jambi terhadap PDRBnya, baik berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan menunjukkan kecendrungan yang s emakin menurun.  Berdasarkan harga berlaku dari 32,18 % pada tahun 2000 Menjadi 26,92 % pada tahun 2005.  Berdasrkan hara konstan dari 32,18 % pada tahun 2000 menjadi 30,20 % pada tahun 2005. Walalupun secara persentase kontribusinya semakin menurun, namun secaa nominal mengalami kenaikan.  Berdasarkan harga berlaku pertumbuhannya mencapai 15,34 %/tah, sedangkan berdasarkan harga konstan pada tahun 2000 pertumbuhannya 4,35 %/th.   Sebaliknya pada agregat sektor non pertanian persentase kontribusinya terhadap PDRB cenderung meningkat.  Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan bidang ekonomi sudah mengarah pada keberhasilan. Indikatornya adalah terjadinya tranfromasi struktural perekonomian dari sektor pertanian ke sektor lain terutama ke sektor industri pengolahan (J suprant, 1983). Secara rinci perkembangan distribusi nilai nominal  dan persentase kontribusi sektor pertanian dan agregat sektor non pertanan disajikan pada Tabel 1. 
Tabel 1.  Kontribusi sektor pertanian dan agregat sektor non pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi Periode 2000 -2005.
Tahun
Atas harga berlaku
Atas Harga Konstan 1993, 2000 a)
Nilai
kontri
pertum
Nilai
kontri
pertum
(Rp Juta)
Busi (%)
buhan(%)
(Rp Juta)
Busi (%)
buhan(%)
Sektor  Pertanian





2000
3.079.258
32,18
-
3.079.258
32.18
-
2001
3.522.932
30,55
14,41
3.193.569
31.29
3,71
2002
4.159.218
29,84
18,06
3.348.407
31
4,85
2003
4.729.041
29,69
13,70
3.467.459
30.56
3,56
2004
5.311.137
28,75
12,31
3.643.091
30.48
5,08
2005
6.279.357
26,92
18,23
3.811.541
30.2
4,61
Rata-Rata
4.476.442
2,16
15,34
 3.423.988
30.95
4,35
Agregat Sektor NonPertanian





2000
6.489.985
67,92
-
6.489.985
67,92
-
2001
8.308.852
69,45
28,03
7.012.023
68,71
8,04
2002
9.781.320
70,16
17,72
7.456.016
69,00
6,33
2003
11.199.480
70,31
14,50
7.876.021
69,46
5,63
2004
13.173.237
71,25
17,62
8.310.194
69,52
5,51
2005
14.433.573
73,08
9,57
8.808.431
69,80
6,00
Rata-Rata
10.564.408
70,84
17,49
7.659.270
69,05
6,30
Sumber : a. BPS dan bappeda Provinsi Jambi (2006)
   b. Diolah (2007)
Keterangan: *) Dari 8 (delapan) sektor dengan migas


Secara umum angka pertumuhan yang banyak digunakan untuk menilai pertumuhan ekonomi adalah rata-rata pertumbuhan berdasarkan angka konstan.  Baik bedasarkan harga berlaku maupn berdasarkan harga konstan masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.  Kelebihan menggunakan pertumbuhan baerdasarkan harga berlaku adalah pertumbuhan tersebut sudah memasukkan unur inflasi, yang menggambarkan kondisi perekonoman yang sesuangguhnya.  Sedangkan pertumbuhan berdasarkan harga konstan kelebhannya dapat digunakan untuk mengevalasi kemajuan perekonomuam dari sisi produksi dalam satu periode tertantu. Dilhat lebh rinci, dari semblan sektor, rata=trata pertumbuhan sektor pertanian berada di urutan ke delapan di atas sektor pertabangan dan penggalian.  Sektor industri pengolahan) dan jasa yang dihrapakan dapat menampung limpahan tenaga kerja sektor pertanian dan sumbangannya terhadap PDRB terus bertambah sebanding dengan penurunan kontribusi sektor pertanian, hanya berada pada uruatan keenam dan ketujuh dengan pertubuhan masing-masing 5,20 %/th dan 4,93 %/h.


         C.         Data Pertanian  Komoditas padi dan Palawija  di Provinsi Jambi

Luas panen padisawah, padi ladang dan 4 9empat) tanaman palawija utama selama periode 2000 – 20005 mengalami penurunan sebesar 11,15 % dari 195.715 ha pada tahun 2000 menjadi 173.898 ha pada tahun 2005 dengan penurunan 2,30 %/th.  Dilihat per tanaman luas areal, penurunan luas areal panen terbesar terjadi pada luas panen padi ladang seluas 10.455 ha, diikuti luas panen padi sawah 5.006 ha, dan luas panen ubi kayu 1.916ha.  sedangkan dilhat dari pertumbugan (%/th), penuruanan terbesar terjadi pada tanaman kedelai diikuti jagung dengan laju penuruanan masing-masing minus 8,33 %/th dan minus 5,18 %/th. Dari keenam tanaman pangan, walalupun luas panennnya mengalami penurunan tetapi produksinya pada tahun 20005 lebihtinggi dari tahun 2000 adalah padi sawah dan jagung.  Hal ini disebabkan laju pertumbuhan produksi dan produktivitas padi sawah dan jagung lebih tingggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan (minus) luas panennya.  Bila pertumbuhan luas panen masing-masing kedua tanaman adalah minus 0,30 %/th dan minus 5,18 %/th, pertumbuhan produktivitasnya masing-masing 3,48 %/th dan 11,02 %/th (tabel 4).  Dengan data tersebut di atas menunjukkkan adanya perbaikan dalam proses berproduksi tanaman padi sawah dan jagung, sehinggga posisi Provinsi Jambi sebagai daerah surplus beras tetap terjaga seperti yang terlhat pada Tabel 3. 


Tabel 2.  Perkembangan dan pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas padi                dan palawija di Provinsi  Jambi, Periode 2000 – 2005. 
Tanaman
Tahun      
AG (5/th)
2000
2005

Luas panen (ha)



1. Padi sawah + Padi ladang
171.395
156.571
1,76)
2. Padi sawah
135.187
130.181
(0,30)
3. padi ladang
36.208
25.753
(0,67)
4. Jagung
12.496
9.308
(5,18)
5. Kedelai
4.301
2.798
(8,33)
6. Kacang tanah
2.394
2.008
(2,38
7. Ubi kayu
5.129
3.213
2,90
Jumlah
195.715
171.898
(2,30)
Produksi (ton)



1. Padi sawah + Padi ladang
536.779
581.648
1,63
2. Padi sawah
456.884
520.38
2,65
3. padi ladang
79.895
61.268
(4,65)
4. Jagung
24.875
30.67
4,36
5. Kedelai
4.233

3.732
6,32)
6. Kacang tanah
2.446
2.308
(6,75)
7. Ubi kayu
54.594
40.737
(5,50)
Produktivitas (t/ha)



1. Padi sawah + Padi ladang
3,13
3,71
2,33
2. Padi sawah
3,38
4,00
3,48
3. padi ladang
2,21
2,38
1,53
4. Jagung
1,99
3,30
11,02
5. Kedelai
0,98
1,33
6,87
6. Kacang tanah
1,02
1,15
2,47
7. Ubi kayu
10,64
12,68
3,65
Sumber : Disperta Provinsi Jambi (2006) diolah (2007)
Keterangan : *) Tidak termasuk Padi sawah + Padi lading
 AG (average Grouth) rata-rata pertumbuhan selama periode 2000 – 20005







Tabel 3.  ketersediaan dan konsumsi beras di Provinsi Jambi Periode 2000 – 2005
Uraian
Ketersediaan (ton)
Konsumsi (ton)
Neraca (ton)
2000
315.156
315.156
18.084
2001
321.13
321.13
24.393
2002
326.373
326.373
21.908
2003
359.044
338.105
20.939
2004
366.599
344.283
22.316
2005
378.31
350.083
28.227
Sumber : a. Disperta Provinsi Jambi (2003 dan 2006)
b. Diolah (2007)

Penurunan luas panen padi dan palawija utama disebabkan oleh: (1) terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan ke penggunaan lain terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit; (2) bertmabahnya luas areal lahan yang untuk sementara waktu tidak diusahakan sehingga menjadi lahan tidur; (3 terjadinya serangan OPT yang eksplosif, dan bencana alam seperti banjir dan kemarau panjang yang menyebabkan gagalpanen dalama skala besar.  Dari ketifa faktor tersebut di atas, alih fungsi lahan tanaman pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya penurunan luas panen yang bersifat permanen, sedangkan dua faktor lain bersifat sementara.
Di lain ssi dialihkannnya lahan pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan bertambahanya luas areal yang sementara waktu tidak diusahakan sehingga menjadi lahan tidur disebabkan oleh beberapa faktor.  Diantaranya yang paling menojop adalah hasil yangdiperoleh dari mengusahakan tanaman panhgan tidak sepadan dengan krobanan (biaya dan tenaga kerja) yang dikelurkan.  Dengan anya mengusahakan/menanam tanaman pangan petani tidak dapat berhaap banyak untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya bahkan untuk mencukupi kebutuhan minimal (sandang, pangan, dan papan) saja terasa sangat sulit.  Sedangkan penghidupam petani kelapa sawit yang mereka lihat sendiri atau mendengar cerita petani lain jauh lebih baik, indikator yang digunaamn adalah: (1) kondisi dan perlenkapan rumah yang “bagus” dan “mahal” ; (2) setiap rumah tangga minimal memiliki satu unit sepeda motor, dan; (3 mampu membiayai pendidikan anak-anakanya hingga perguruan tinggi (Minsyah, 2006). 
Hasil yang rendah tidak sesuai dengan korbanan bisa dalam bentuk produksi dan atau dalam bentuk nilai produksi (harga jual).  Pada kasus di bekas lokasi transmigrasi Muara sabak dan Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terjadi adalah produksi padi dan tanaman pangan lainnya telah jauh berkurang.  Sebagai contoh produksi padi yang diperoleh pada tahun 1998 sangat rendah bahkan beberapa dianataranya tdak lebih dari 0,5 ton GKG/ha (Alihamsyah, dkk 2000).
 Akibatnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sebagian petani-petani di kedua kecamatan tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama ( 2- 4 tahun) bekerja serabutan, ada yang menjadi buruh tani terutama menjadi buruh pada perkebunan di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit antara lan: 1) di Kecamatan Merlung Kabupaten Tanjung Jabung Barat; (2) di bekas lokasi transmigrasi Pamenang Kabupaten Merangin; (3) di bekas lokasi transmigrasi Sungai bahar dan Petaling Jaya di Kabupaten Muaro Jambi, dan; (4) bahan sampai di sentra produksi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau (Sitanggang, dkk. 2004).  Bagi petani yang tidak “merantau”  untukmencukupi kebutuhan sehari-harinya, mereka menyewa atau menggarap lahan milik petani lain yang kondisi lahannnya relatif jauh lebih baik, lahan tersebut umumnya di milikii oleh petani beretnis Bugis antara lain di di desa kampung dalam Kecamatan Berbak (Dulu masuk Kecamatan Rantau rasau), Lambur Luar Kecamatan Muara Sabak, dan desa-desa lain yang ada di sekitarnya. 
Berbekal penhalaman menjadi buruh pada perkebuna kelapa sawit, sekembalinnya  dari perantauan mengalih fungsikan seluruh atau sebagian lahan panggannnya menjadi kebun kelapa sawit.  Pengalih fungsian lahan pangan ini kemudian juga diikuti oleh petani-pertani lain.  Hasil penelitian Sitanggang dkk (2004) menemukan bahwa di kedua kecamatan tersebut di atas, dari 99,20 ha lahan pangan milik 80 responden (petani) 33,95 ha atau 34,22 % diantaranya paling tidak telah direncanakan untuk dialih fungsikan menjadi kebun kelapa sawit.  Hal tersebut di dukung oleh data yang diterbitkan oleh Dinas perkebunan Provnsi Jambi(2004 dan 206) bahwa hanya dalam kurun waktu selama dua tahun (2003 – 2005) luas areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah bertambah seluas 3.813 ha atau 57,34 % dari 66.50 ha pada tahun 2002 menjadi 10.403 ha pada tahun 205 (Disbun Provins jambi, 2006).  Luas areal tersebut belum termasuk kebun kelapa sawit yang dtanam oleh petani secara mandiri (swadaa murni).  Menurut salah seorang staf  Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat (kabupaten Tanjung Jabung Timur) dalam Minsyah, (2007) luas kebun kelapa sawit yang ditanam secara mandiri di Kabupaten tanjung Jabung Timur sampai pada tahun 204 tidak kurang dari 4.000 ha. 
Pada kasus di bekas lokasi transmigrasi Pamenang A di Kabupaten Merangin dan Petaling Jaya di Kabupaten Muaro Jambi, dialhkannya lahan pangan menjadi areal pertanaman kelapa sawit dipicu oleh tidak tersedianya air yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman pangan utamanya padi.  Pada msih menanam tanaman pangan satu-satunya sumber air untuk pertanamannnya adalah air hujan.  Hal ini berarti air yang sangat dibuthkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat tergantung dari hujan dan umunya hanya tersedia pada muism hujan.  Sedangkan pada musim kemarau disamping ketidak tersediaan air, tanaman yang diusahalan seringa gagal panen karena terserang  karena terserang beberapa jenis hama dan penyakit. 
Faktor lain yang memicu terjadinya alh fungsi lahan pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit adalah nilai produksi tanaman pangan sangat fluktuaitf yang cenderung merugikan petani. Pada masa penanaman hingga menjelang panen harga di pasar lokal cenderung terus meningkat, begitu memasuki masa panen harga-hara tersebut mengalami penurunan yang cukup tajam.  Sebagai contoh harga beras di kawasan kegiatan Pewilayahan Komoditas Pertanian di Kecamatan Muara Tembesi Kabupaten Batanghari yang kualitasnya sama dengan kualitas beras yang dihasilkan petani setempat, 2 (dua) bulan sebelum hinggga menjelang panen berkisar antara Rp 2.750,- - Rp 3.000,- /kg, pada masa panen tersebut turun menjadi 2,300,-/kg – Rp 2.600,-/kg dan harga ditingkat petani hanya berkisar antara Rp 2.000,-/kg – Rp 2.250,-/kg.  hal yang sama juga terjadi dengan komoditas lain yang ditanam petani (Busyra, dkk. Dalam Minsyah, 2007).
Dalam bahasa ekonomu tinkah laku pasar yang c endrung merugikan petani tersebut merupakan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan kapasitas produksinya.  Bahkan lebih jauh, bila da kesempatan seperti menjadi peserta sebagai petani plasma pada perusaghaan perkebunan kelapa sawit baik dari PTPN maupun dari PBS atau adanya program perluasan areal perkebunan dari pemerintah, atau; mereka sendiri telah memiliki biaya atau dana, mereka akan mengalihkan sebagian atau seluruh lahan pangannnya menjadi areal perkebuna  kelapa sawit atau karet yang dianggap (secara ekonomi) jauh lebih menguntungkan. 

         D.         Gambaran Umum Pertanian di Provinsi Jambi






















BAB III PENUTUP
Kesimpulan
1.      Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bagian (BAB III) hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Dari sisi pertumbuhan PDRB, pembangunan bidang ekonomi di Provinsi Jambi selama periode 2000 – 20005 sudah mengarah pada keberhasilan.  Salah satu indikatornya adalah terjadinya transfromasi struktural PDRB, dimana kontribusi sektor pertanianb secara konsisten mengalami penuruanan dari 32,18 % pada tahun 2000 menjadi 26,92 % pada tahun 20005.  sebalknya pada agregat sektor non pertanian menalami peningkaan dari 67,92 % pada tahun 2000 ,emkadi 73,08 % pada tahun 2005.  walalupun demikian peranan sektor pertanian masih sangat menonjol dalam menggerakan roda perekonomiam Provinsi Jambi.   
2.      Dari siksi lain, meningkatnya kontribusi agregat sektor non pertanian terhadap PDRB secara konsisten ternyata secara persentase tidak diikuti peningkatan kesempatan kerja yang konssten pula. Peningkatan kesempatan kerja pada agregat sektor non pertanian hanya terjadi pada sub periode 2000 – 2003, pada sub periode selanjutnya (2003 – 2005)mengalami penurunan, sebaliknya pada sektor non pertanian mengalami peningkatan.  Adanya ketida konsistenan antara kontribusi terhadap PDRB dan pertumbuhan kesempatan kerja in perlu didentifikasi untuk mengetahui faktor penyebab sesungguhnya.




















DAFTAR PUSTAKA 
Alihamsyah, T. ananto, EE, Supriadi, H. wahyuni, S. Suhartatik, E. Nugroho, K. dan Sutrisna , N. 2000.  karakterisasi Lahan Pasang  Surut  Di Scheme Rantar rasau dan Pamusiran Wilayah pengembangan ISDP Provinsi Jambi,> Proyek Peneltian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Terpadu –ISDP, Bogor.  

Arintadisastra, S. 2002.  Membangun Pertanian Modern.  Yayaysan Pengembangan Snar Tani, Jakarta.  

Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi, 2006.  Indikator Ekonomi Provinsi Jambi, Tahun 2005.  Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Badan perencanaan Pembangan Daerah Provinsi Jambi, Jambi.  

Dinas pertanian tanaman pangan Provinsi Jambi, 2006.  data Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2005.  Dnas Pertanian tanaman Pangan Provinsi Jambi, Jambi. 
Kanisius. 1989.  Budidaya Kopi. Kanisius, Jogyakarta.