BAB
II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Likuiditas
Secara
umum, definisi likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash
flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai. Dari sudut
aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset
menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan Dari sudut pasiva, likuiditas
adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio
reliabilitas.
Apabila
bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan
transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak maka
muncullah “resiko likuiditas“.
Definisi
Resiko Likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat
dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka
pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya
risiko likuiditas ditentukan antara lain:
a) Melaksanakan monitoring secara
harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa
penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.
b) Melaksanakan monitoring secara
harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran
tunai nasabah.
c) Membuat analisa sensitivitas
likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman masa
lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan
membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini. Dari analisa
tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.
d) Selanjutnya Bank menetapkan
secondary reserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank, antara lain menempatkan
kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang likuid.
e) Menetapkan kebijakan Cash Holding
Limit pada kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset &
Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam usahanya dan
meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.
Oleh
karena itu bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan
mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka
akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga
tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuiditas terlalu besar maka
akan menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat
profitabilitas.
B. Jenis – Jenis Risiko likuiditas
1) Resiko likuiditas pasar dimana
resiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan offsetting tertentu dengan
harga karena kondisi likuditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan
dipasar. Contohnya Bank XXX Syariah memberikan bagi hasil yang tidak wajar
misalkan 80% (eq.rate 12 %) agar nasabah dana mau menyimpan dananya padahal
pada saat yang bersamaan pasar hanya eq. rate 8.5 %.
2) Resiko likuditas
pendanaan dimana resiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan
assetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain. Contohnya Bank
Zulfikar Syariah pada saat membutuhkan likuditas, Bank Zulfikar Syraiah tidak
mampu menjual obligasi yang dimilikinya walaupun sudah diberikan discount cukup
besar.
Selain
itu Peristiwa risiko likuiditas yang sering kali terjadi meliputi : Tingkat
dimana dibutuhkan penambahan dana dengan biaya tinggi dan atau menjual aset
dengan harga discount, Ketidaksesuaian jatuh tempo (maturing mismatch) anntara
eraning assets dan pendanaan, Pinjaman jangka pendek (borrow short) dan
pembiayaan jangka panjang (lend long) dengan spread yang lebar, dan Kontrak
mudharabah mengijinkan nasabah untuk menarik dananya setiap saat tanpa
pemberitahuan. Selain peristiwa tersebut, juga terdapat faktor atau penyebab
meningkatnya risiko likuiditas yaitu : Penurunan kepercayaan terhadap sistem
perbankan, Penurunan kepercayaan terhadap suatu Bank, Ketergantungan kepada
deposan inti, Berlebihnya dana jangka pendek atau long term asset, Keterbatasan
secara Syariah pada asset securization karena pembatasan untuk menjual utang
(sale of debt).
B. Pengelolaan Likuiditas
Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari
pengelolaan leabilitas (liability management). Melalui pengelolaan likuiditas
yang baik, bank dapat memberikan keyakinan pada para penyimpan dana bahwa
mereka dapat mengambil dananya sewaktu-waktu atau pada saat jatuh tempo. Oleh
karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan bahwa
bank sewaktu-waktu dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika
kelebihan dana dimana dana yang ada dalam bank banyak yang idle, hal ini akan
menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi. Kedua resiko ketika
kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan
kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank
sentral. Kedua keadaan ini tidak diharapkan oleh bank karena akan mengganggu
kinerja keuangan dan kepercayaan masyarkat terhadap bank tersebut. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ketika bank mengharapkan keuntungan yang maksimal akan
beresikopada tingkat likuiditas yang rendah atau ketika likuiditas tinggi
berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.disini tearjadi konflik kepentingan
antara mempertahankan likuiditas yang tinggi dan mencari keuntungan yang
tinggi.
Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko likuiditas yang disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini tidak terjadi kebijakan manajemen likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga asset jangka pendek, seperti kas,
Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko likuiditas yang disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini tidak terjadi kebijakan manajemen likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga asset jangka pendek, seperti kas,
Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa
faktor:
1. kewajiban
reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.
2. Tipe-tipe
dana yang ditarik oleh bank.
3. Komitmen
nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan
investasi.
Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu
perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus
dipenuhi. Jumlah alat-alat pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh
suatu perusahaan pada suatu saat merupakan kekuatan membayar dari perusahaan
yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar belum
tentu dapat memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi
atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki kemampuan
membayar.
Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila
kekuatan membayar-nya adalah demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua
kewajiban finansiilnya yang segera harus dipenuhi. Dengan demikian maka
kemampuan membayar itu dapat diketahui setelah membandingkan kekuatan
membayar-nya di satu pihak dengan kewajiban-kewajiban finansiilnya yang segera
harus dipenuhi di lain pihak.
Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian
besarnya sehingga mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera
harus dipenuhi, dikatakan bahwa perusahaan tersebut adalah likuid, dan
sebaliknya yang tidak mempunyai kemampuan membayar adalah illikuid.
C. Penghitungan Ratio Likuiditas
Untuk menilai likuiditas perusahaan terdapat beberapa rasio
yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisa dan menilai posisi
likuiditas perusahaan, yaitu:
a.
Current
Ratio
Current Ratio biasanya digunakan sebagai alat untuk mengukur
keadaan likuiditas suatu perusahaan, dan juga merupakan petunjuk untuk dapat
megetahui dan menduga sampai dimanakah kiranya kita, apabila memberikan kredit
berjangka pendek kepada seorang nasabah, dapat merasa aman atau tidak. Dasar
perbandingan tersebut dipergunakan sebagai alat petunjuk, apakah perusahaan
yang mandapat kredit itu kira-kira akan mampu ataupun tidak untuk memenuhi
kewajibannya untuk melakukan pembayaran kembali atau pada pelunasan pada
tanggal yang sudah ditentukan. Dasar perbandingan itu menunjukan apakah jumlah
aktiva lancar itu cukup melampaui besarnya kewajiban lancar, sehingga dapatlah
kiranya diperkirakan bahwa, sekiranya pada suatu ketika dilakukan likuiditas
dari aktiva lancar dan ternyata hasilnya dibawah nilai dari yang tercantum di
neraca, namun masih tetap akan terdapat cukup kas ataupun yang dapat
dikonversikan menjadi uang kas di dalam waktu singkat, sehingga dapat memenuhi
kewajibannya.
Current ratio yang tinggi maka makin baiklah posisi para
kreditor, oleh karena terdapat kemungkinan yang lebih besar bahwa utang
perusahaan itu akan dapat dibayar pada waktunya. Hal ini terutama berlaku bila
pimpinan perusahaan menguasai pos-pos modal kerja dengan ketat/dengan
semestinya. Dilain pihak ditinjau dari sudut pemegang saham suatu current ratio
yang tinggi tak selalu paling menguntungkan, terutama bila terdapat saldo kas yang
kelebihan dan jumlah piutang dan persediaan adalah terlalu besar.
Pada umumnya suatu current ratio yang rendah lebih banyak
mengandung risiko dari pada suatu current ratio yang tinggi, tetapi
kadang-kadang suatu current ratio yang rendah malahan menunjukkan pimpinan
perusahaan menggunakan aktiva lancar sangat efektif. Yaitu bila saldo
disesuaikan dengan kebutuhan minimum saja dan perputaran piutang dari
persediaan ditingkatkan sampai pada tingkat maksimum. Jumlah kas yang
diperlukan tergantung dari besarnya perusahaan dan terutama dari jumlah uang
yang diperlukan untuk membayar utang lancar, berbagai biaya rutin dan
pengeluaran darurat.
Munawwir menyatakan current ratio 200% kadang sudah
memuaskan bagi suatu perusahaan, tetapi jumlah modal kerja dan besarnya rasio
tergantung pada beberapa faktor, suatu standar atau rasio yang umum tidak dapat
ditentukan untuk seluruh perusahaan. Current ratio 200% hanya merupakan
kebiasaan atau rule of thumb dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk
mengadakan penelitian atau analisa yang lebih lanjut.
Current ratio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of
safety) kreditor jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk membayar
hutang-hutang tersebut. Tetapi suatu perusahaan dengan current ratio yang
tinggi belum tentu menjamin akan dapat dibayarnya hutang perusahaan yang sudah
jatuh tempo karena proposisi atau distribusi dari aktiva lancar yang tidak
menguntungkan, misalnya jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan
taksiran tingkat penjualan yang akan datang sehingga tingkat perputaran
persediaan rendah dan menunjukkan adanya over investment dalam persediaan
tersebut atau adanya saldo piutang yang besar yang mungkin sulit untuk ditagih.
Adapun formulasi dari current ratio (CR) adalah sebagai
berikut :
Current
ratio= (aktiva lancer : hutang lancar) x 100%
|
b.
Quick
ratio
Rasio
ini disebut juga sebagai acid test ratio, yaitu perbandingkan
antara aktiva lancar dikurangi persediaan dengan utang lancar. Rasio ini
merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dengan tidak
memperhitungkan persediaan, karena menganggap persediaan memerlukan waktu lama
untuk direalisir menjadi kas, walaupun pada kenyataannya mungkin persediaan
lebih likuid dari piutang. Rasio ini lebih tajam dari pada current ratio karena
hanya membandingkan aktiva yang sangat likuid. Jika current ratio tinggi tapi
quick ratio rendah, hal ini menunjukkan adanya investasi yang sangat besar
dalam persediaan.
Adapun
formulasi dari quick ratio adalah sebagai berikut :
Quick Ratio = ( Aktiva Lancar –
Persediaan) : (utang lancar) x 100%
|
D. Resiko
likuiditas
Bank
wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya dengan
baik, karena apla likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu
kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga tidak boleh terlalu
besar, karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan menurunkan
efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam
hal Bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi
kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang
mendesak maka muncullah risiko likuditas.
Risiko Likuditas adalah risiko terjadinya kerugian yang
merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada
umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar
kecilnya risiko likuditas ditentukan antara lain:
1. Kecermatan
dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan
prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana;
2. Ketepatan
dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non PLS;
3. Ketersediaan
aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
4. Kemampuan
menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk
fasilitas lender of last resort.
Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan
menurunkan kemampuan Bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka
diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga
merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas.
Dalam mengantisipasi terjadinya Risiko Likuditas, aktivitas
Manajemen Risiko yang umumnya ditetapkan oleh Bank antara lain adalah:
1. Melaksanakan
monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh
nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.
2. Melaksanakan
monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer
maupun setoran tunai nasabah.
3. Membuat
analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana
berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang
pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih ratarata saat
ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.
4. Selanjutnya
Bank menetapkan secondaryreserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank, antara
lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang likuid.
5. Menetapkan
kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank.
6. Melaksanakan
fungsi ALCO (Asset &Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam
usahanya.
7. meningkatkan/menurunkan sumber dana
tertentu.
E. Strategi Manajemen Cadangan dan Kebijakannya
Dalam menjaga tingkat profitabilitas bank dan menjaga
kepercayaan masyarakat, maka disini sangat diperlukan manajemen resiko. Secara
umum yang dimaksudkan dengan risiko adalah sebagai bentuk peristiwa yang
mempunyai pengaruh terhadap kemampuan seseorang atau lembaga untuk mencapai
tujuannya Dalam pengertian umum di atas belum terlihat gambaran ukuran besar
atau luas dampak risiko tersebut terhadap pencapaian tujuan bank
BankIndonesiamendefinisikan manajemen resiko sebagai
“serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiayan usaha
bank”. Dalam mengaplikasikan definisi resiko tersebut dalam program manajemen
resiko, maka semua kegiatan atau usaha yang dilakukan akan melibatkan semua
kegiatan yang membutuhkan perhatian, kewaspadaan, pengetahuan yang harus
dikembangkan, pengalaman yang memadai serta kemampuan yang terus ditingkatkan.
Resiko mempunyai potensi suatu peristiwa terjadi atau tidak terjadi dengan
dampak / peluang untung (upside) atau rugi (downside).
Bank dapat terhindar dari resiko yang tidak perlu terjadi
dengan cara:
1. Standarisasi
dan memutakhirkan semua kebijakan dan prosedur bank
2. Mengkaji
penetapan limit risiko
3. Membangun
konstruksi portfolio asset
4. Memanfaatkan
keuntungan diversifikasi
5. Melakukan
proses pendidikan mengenai resiko secara berkelanjutan untuk semua pegawai
6. Membangun
budaya manajemen resiko pada seluruh jenjang organisasi
Resiko yang dapat merugikan bank antara lain :
1. Tidak
memadainya modal yang tersedia
2. Resiko
pemberian fasilitas kredit
3. Resiko
kecurangan
Dalam makalah ini akan lebih dikhususkan lagi mengenai
resiko likuiditas, Risiko Likuiditas adalah Bila bank tidak mampu memenuhi
kewajibannya pada saat jatuh tempo karena ekspansi kredit diluar rencana atau
penarikan dana yang tidak terduga disebabkan hilangnya kepercayaan pada bank.
Risiko
likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch atau
Gap antara Rate Sensitive Assets (RSA) dan Rate Sensitive Liabilities
(RSL). Bank mengelola risiko likuiditasnya agar dapat memenuhi setiap
kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat likuiditas yang optimal. Tujuan
tersebut dicapai oleh Bank dengan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan
cadangan likuiditas yang optimal, mengukur dan menetapkan limit untuk risiko
likuiditas serta penyusunan contingency plan.
Tingkat likuiditas Bank diukur dengan besarnya tingkat
cadangan primer dan cadangan sekunder yang dipelihara Bank serta rasio
likuiditas lainnya. Pengukuran rasio likuiditas Bank meliputi struktur
pendanaan, expected cash flow, akses pasar dan asset
marketability. Pengelolaan cadangan primer dan cadangan
sekunder adalah untuk keperluan pendanaan operasional harian dan
sebagai buffer untuk mengcover penarikan dana yang tidak
terduga.
Asset Liability Management Sering disebut dengan ALMA,
merupakan alat utama untuk mengendalikan risiko pasar : suku bunga, nilai tukar
dan risiko likuiditas
Kebijakan ini memuat:
1. Penetapan
limit risiko oleh Asset Liabities Committee
2. Prosedur
dan dokumentasi yang harus dipenuhi
3. Analisis
yang harus dilakukan
4. Metode
untuk mengendalikan eksposur suku bunga dan kurs
5. Menetapkan
otorisasi dan proses menangani penyimpangan terhadap kebijakan
6. Sistem
penetapan harga dan penilaian pasar
Bank dapat membiayai kebutuhan nasabah / operasional dari
beberapa sumber :
1. Mendapatkan
dana dalam bentuk simpanan jangka pendek dan jangka panjang
2. Meningkatkan
pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang
3. Meningkatkan
modal
4. Menjual
altiva bank
Beberapa apek kunci dalam perspektif pengendalian
risiko likuiditas a.l.:
1. Menyusun
strategi pendanaan khususnya pada kondisi pasar yang kurang menguntungkan
2. Mempersiapkan
pedoman yang jelas mengenai pengelolaan risiko likuiditas sesuai dengan
strategi yang diambil
3. Aktif
mengukur posisi likuiditas bank
4. Mengkaji
rencana darurat keuangan bank agar mampu mengatasi masalah likuiditas dengan
biaya yang relatif murah
Contoh
Krisis yang melanda Indonesia, mulai mengenai perbankan
dengan timbulnya masalah kekurangan likuiditas (liquidity mismatch), semula
dialami oleh beberapa bank, tetapi kemudian menjadi sistemik. Krisis likuiditas
secara sistemik, yang dialami perbankan dimulai sekitar pelaksanaan kebijakan
pencabutan ijin usaha atau likuidasi 16 bank tanggal 1 November 1997.
Kepercayaan terhadap Rupiah yang menurun sejak terjadinya gejolak moneter bulan
Juli 1997 menjadi lebih buruk lagi setelah diterapkan sistim nilai tukar yang
mengambang secara bebas pada pertengahan Agustus 1997. Pembelian mata uang
dollar (USD) atau penjualan aset rupiah ramai dilakukan, dimulai oleh pelaku
pasar asing, akan tetapi kemudian diikuti oleh pemain pasar dalam negeri dan
pemilik dana dalam negeri.
Strategi
Pemerintah menghadapi perkembangan ini dengan melakukan
pengetatan moneter, dengan menggunakan tindakan fiskal (melalui pengurangan
pengeluaran rutin maupun pembangunan dari APBN), kebijakan moneter (langkah BI
menghentikan pembelian SBPU bank-bank dan peningkatan suku bunga SBI sampai
lebih dari dua kali lipat), dan tindakan adminsitratif (instruksi Menkeu ke
pada berbagai Yayasan dan BUMN untuk mengalihkan deposito mereka menjadi SBI).
KESIMPULAN
Secara umum, pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai.
Fungsi
dari likuditas secara umum untuk :
1. menjalankan
transaksi bisnisnya sehari-hari;
2. mengatasi
kebutuhan dana yang mendesak;
3. memuaskan
permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibiltas dalam meraih
kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu: Pertama resiko
ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam bank banyak yang idle. Kedua resiko
ketika kekurangan dana
Pada
umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:
1. kewajiban
reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.
2. Tipe-tipe
dana yang ditarik oleh bank.
3. Komitmen
nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan
investasi.
Alat untuk menganalisa dan menilai posisi likuiditas
perusahaan, yaitu:
1. Current
Ratio
2. Quick
ratio
Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat
dari mismatch struktur aktiva dan pasiva Bank.
Cadangan
primer ada dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia serta kas di
kantor-kantor cabang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar