Minggu, 03 Februari 2013

modernisasi dalam islam




MAKALAH
PAI ( ISLAM DAN DUNIA MODERN )
logo stie mura
                                    Disusun Oleh :
                          Nama         : Pajar Pamuji
                          NIM        : 212.02.072
                          Kelas          : 1A2 
                          Jurusan      : Akuntansi
Dosen Pembimbing           :  Susmiati S.Ag
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MUSI RAWAS
(STIE-MURA) LUBUKLINGGAU
TAHUN 2012-2013



KATA PENGANTAR
            BISMILLAHIRRAHMANIRROHIIM
            Puji syukur saya panjatkan kehairat Allah swt. Semoga rahmat dan keselamatan diimpahkan kepada nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya. Al-hamdulillah makalah yang berjudul “Modernisme Dalam Pandangan Islam” merupakan salah satu tugas mata kuliah Filsafat, dapat tersaji, walaupun dalam pengerjaannya mendapatkan hambatan dikarenakan keterbatasan ilmu yang saya miliki.
Semoga bahan ajar ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa STIE MURA, serta menjai pedoman bagi mahasiswa STIE MURA Yang belajar PAI.
            Demikian makaah yang saya buat saya ucapkan terimah kasih.










Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan terdiri dari :
1.1                Latar Belakang
1.2                Perumusan Masalah
1.3                Ruang Lingkup Pembahasan
1.4                Tujuan
Bab II Pembahasan terdiri dari :
2.1      Pengertian Modern
2.2      Sejarah Modernisasi
2.3      Hakikat Abad modern
2.4      Kontak Islam Dalam Modernisasi
2.5      Respon Kaum Intelektual
2.6      Aspek-Aspek Pembaharuan Dalam Islam
2.7      Pengaruh Pembaharuan Islam di Indonesia
Bab III Kesimpulan
Daftar  Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
      Dalam perbincangan tentang modernisasi telah menyita Perhatian dan  konsentrasi para sarjana baik Muslim maupun non-Muslim dibuktikan dengan telah lahirnya beragam karya dan pemikiran dibidang ini menunjukkan modernisasi telah mendapat tempat yang cukup proporsional dalam kajian global atau dunia yang luas ini, bahkan ditambah lagi dengan intensnya upaya-upaya pembaharuan tersebut dilakukan secara serentak dan kompak baik dunia Islam sendiri maupun di luar dunia Islam, merupakan suatu kemajuan dan arus deras yang tidak dapat dihentikan demi menciptakan perbaikan dalam segala bidang kemanusiaanya. Sebagaimana gerakan modernis Islam yang berusaha mejembatani jurang pemisah antara orang-orang Islam tradisional dengan para pembaharu yang sekuler. Modernisasi Islam seperti tanggapan Muslim modern terhadap Barat pada abad ke-20 mempunyai sikap yang ambivalen terhadap Barat, yaitu tertari sekaligus menolak. Eropa dikagumi karena kekuatan, teknologi, ideal politiknya tentang kebebasan, keadilan dan persamaan, tetapi sering juga ditolak karena tujuan dan kebijaksanaan imperialisnya.
      Untuk itulah dalam tulisan yang singkat ini akan mencoba melacak tradisi modernisasi dalam dunia Islam maupaun medernisasi dalam pandangan Islam. dan juga bagaimana hubungan Islam dengan negara modern, yang jelas sangat berkaitan dengan kemajuan dicapai Barat dalam segala bidangnya sebagai indikasi sederhana bahwa “genderang” modernisasi yang “ditabuh” di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari mata rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan yang diukir oleh dunia Barat.Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai  langkah negara barat yang ingin menguasai negara dan meyebarkan ideologinya.




1.2       PERUMUSAN MASALAH
Dalam menapaki problematika modern yang terjadi di permukaan bumi, hal ini memberi imbas kepada tatanan umat islam, mau tidak mau umat islam sendiri harus membuka mata terhadap gejala yang terjadi, baik itu bersifat politik, social, budaya dan lain-lain.
Melihat realita kehidupan muslim pada era modernisasi sangat memprihatinkan karena atribut-atribut umat islam berserakan seperti sampah, nilai-nilai luhur ajaran islam semakin luntur terbawa arus modernisasi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengkaji latar belakang sejarah serta bagaimana pandangan islam terhadap modernisasi.
Pengalaman sejarah membuktikan bahwasannya umat Islam tidak hanya mengalir bagai air, tetapi berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits, kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
1.3       RUANG LINGKUP PEMBAHASAN      
Secara periode waktu, studi ini dibatasi pada perkembangan modernisme Islam mulai dari pengertian modern serta perkembangan modern dalam dunia Islam. Alasan pembatasan tersebut didasarkan pada modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an.
1.4       TUJUAN
·           Memperkaya wawasan keilmuan.
·           Mengetahui perkembangan sejarah modernisasai islam serta tahu bagaimana cara            mengisi pada abad modernisasi ini yang penuh dengan kamuflase.
·           Mempertinggi ghirah jihad dalam mempertahankan ajaran-ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Modern
Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan. Ada yang mengartikan modern diambil dari bahasa arab mudlirrun, bentuk isim fail artinya yang memadlaratkan, dengan artian walaupun cara pandang dan berfikir mengalami kemajuan tetapi dapat menghilangkan jati diri seorang muslim, karena disana pendewaan terhadap akal sangat dominan. Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan. Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer.
      Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original atau asli melainkan “diekspor” atau di amabil dari bahasa asing (modernization), berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pengertian yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
      Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, isntitusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat- pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern. Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan modernisasi lebih cenderung kepada suatu cara pandang meminjam defenisi Harun Nasution, modernisasi adalah mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainnya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
      Dalam perspektif posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, bahwa modernisasi bisa disebut sebagai  semangat (elan) yang diandaikan ada pada menyemangati masyarakat intelektual dan semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress, semangat untuk meraih kemajuan, dan untuk humanisasi manusia yang dilandasi oleh semangat keyakinan yang sangat optimistik dari kaum modernis akan kekuatan rasio manusia. Sedangkan Fazlur Rahman, sarjana asalPakistan mendefenisikan modernisasi dengan “usaha-usaha untuk melakukan hormonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam”. Mukti Ali, tepat disebut sebagai orang yang mewakili sarjanaIndonesia mengartikan modernisasi sebagai “upaya menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk mensesuaikannya dengan perkembangan zaman dengan melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang sedang berlangsung”.

2.2       Sejarah Modern
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam. Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam. Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
2.3       Hakikat Abad Modern
                  Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai  hasil kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran diperbandingan dengan Barat. Sebelum periode modern, kontak sebenarnya sudah ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara Barat. Diketika negara-negara itu mulai memasuki masa kemunduran. Sebagai  akibat dari perubahan itu, Kerajaan Usmani, yang biasa menang dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat. Hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani menyelidiki rahasia kekuataan Eropa yang baru muncul itu. Menurut pemikiran, rahasinya terletak dalam kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa. Oleh karena itu usaha pembaharuan dipusatkan dalam lapangan militer kerajaan Usmani. Bantuan ahli-ahli Eropa diminta dan pada permulaan abad ke delapan belas Mesehi datanglah ke Istambul ahli-ahli seperti De Rochefort dari Perancis, Macarthy dari Irlandia, Ramsay dari Scotlandia dan Comte de Benneval dari Perancis. Yang akhir ini masuk Islam dengan memakai nama Humbaraci Pasya.
      Pembaharuan yang yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak ada artinya. Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian yang membawa kepada perubahan besar di Turki. Seoarang terpelajar Islam memberikan gambaran pada abad kesembilan belas, Ia mengatakan betapa terbelakangnya umat Islam ketika itu. Kontak dengan kebudayaan Barat yang lebih tinggi ini ditambah dengan cepatnya kekuatan Mesir dapat dipatahkan oleh Napoleon, membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir untuk mengadakan pembaharuan. Dimana usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad Ali Pasya (1765-1848 M) seorang perwira Turki.



2.4       Kontak Islam Dengan Modernisasi
-          Masyarakat Arab
Semangat modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan. Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta pada bulan Maret 1911. Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa.
-          Muhammadiyah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam yang terbesar adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau, terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid, kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama Hamka dan A.R.Sutan Mansur.
Pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jawa berdiri tiga organisasi. Selain Jam`iyat al-Khair yang dipelopori masyarakat Arab, tumbuh pula dua organisasi pribumi, yaitu Budi Utomo tahun 1908, serta Sarekat Islam tahun 1911. Ahmad Dahlan menjadi anggota yang aktif dari ketiga organisasi tersebut. Akan tetapi dia merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang benar-benar berorientasi kepada gerakan modernisme Islam. Ahmad Dahlan menilai Budi Utomo tidak memperjuangkan Islam, sedangkan Sarekat Islam dilihatnya menjurus ke bidang politik. Dalam suatu pertemuan antara Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, kedua tokoh ini sepakat untuk berbagi tugas dengan masing-masing mendirikan organisasi: Ahmad Surkati menghimpun masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat pribumi. Maka pada hari Senin Legi tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330), Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, yang berarti “penegak ajaran Nabi Muhammad”. Organisasi ini berlambang matahari yang dihiasi dua kalimat syahadat, persis seperti hiasan gambar matahari di pintu Ka`bah! Dengan lambang matahari, diharapkan Muhammadiyah menjadi sumber energi yang senantiasa bersinar untuk menerangi umat Islam di Indonesia. Menurut Ahmad Dahlan, organisasi Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah “hendaklah ada dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda, yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar” (ya’muruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal. Itulah sebabnya Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah: (1) memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam; serta (2) memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam kalangan sekoetoe-sekoetoenja.Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah menetapkan garis perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da`wah, sosial, dan pendidikan. Dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” serta “siapa menanam dia mengetam”, Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari apa yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat). Muhammadiyah mempelopori penentuan arah kiblat secara eksak; penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan; shalat hari raya di lapangan; pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban kepada fakir miskin; pemberian khutbah dalam bahasa yang difahami jemaah; pelaksanaan shalat Jum`at dan tarawih yang sesuai dengan cara Nabi; penghilangan bedug dari mesjid; penyederhanaan upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan pengurusan jenazah; serta masih banyak lagi usaha-usaha Muhammadiyah yang mengembalikan umat Islam kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, di samping perkumpulan Siswapraja Wanita dan Siswapraja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’atul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932. Sampai tahun 1920 organisasi Muhammadiyah dimatangkan di Yogyakarta dan sekitarnya. Sesudah itu Muhammadiyah mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang di beberapa kota: Surakarta (1920), Surabaya dan Madiun (1921), serta Pekalongan, Garut dan Jakarta (1922). Setelah Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh sahabatnya, Kyai Haji Ibrahim, yang memimpin organisasi sampai tahun 1932. Pada periode K.H.Ibrahim ini Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa: Sumatera (1925), Kalimantan (1927), dan Sulawesi (1929).
Demikianlah akhirnya Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara, sehingga dalam Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang bulan Juni 1933 dengan bangga Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) melaporkan bahwa “Moehammadijah-lah persjarikatan jang pertama-tama banjak tjabang dan groepnja, tersiar moelai dari Sabang sampai Merauke dan dari Teloekbetoeng sampai Manado dan Ternate”.
Muhammadiyah merupakan gerakan modernisme Islam yang mempunyai dampak paling luas di Indonesia. Pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari garis “ahlus-sunnah wal-jama`ah”. Akan tetapi lambat laun masyarakat menyadari bahwa modernisasi memang suatu keharusan. Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi tuduhan kepada Muhammadiyah “meniru Belanda” terpaksa didirikan orang juga. Kepanduan yang dahulu dianggap “tasyabbuh” (menyerupai orang kafir) di mana-mana telah tumbuh. Golongan-golongan yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali meniru jejak Muhammadiyah. Sejak mulai berdiri Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. “Tidak mencampuri politik”, itulah politiknya! Ia semata-mata gerakan da`wah. Akan tetapi tidaklah dapat dinafikan pengaruh Muhammadiyah dalam perjuangan bangsa. Sebagai satu-satunya organisasi di zaman kolonial yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke, maka kongres-kongres Muhammadiyah yang berlangsung setiap tahun sangat berperan dalam membina persatuan nasional. Apalagi bahasa Melayu selalu digunakan dalam kongres-kongres tersebut, meskipun bahasa Melayu saat itu belum dikukuhkan sebagai Bahasa Indonesia. Perjuangan di bidang politik banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah sebagai organisasi tidak berpolitik praktis. Cukuplah di sini disebutkan bahwa ketika Republik Indonesia lahir tahun 1945 jabatan-jabatan strategis di negara ini dipegang oleh “orang Muhammadiyah”, yaitu Presiden Sukarno, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, Jaksa Agung Kasman Singodimedjo, serta Menteri Agama Muhammad Rasyidi. Beberapa tokoh Muhammadiyah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan, Nyi Haji Siti Walidah Ahmad Dahlan, Kyai Haji Fachruddin, dan Kyai Haji Mas Mansur.
-           Kaum Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis. Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama. Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700–767), mazhab Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780–855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111) dalam masalah tasawuf. Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja. Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah al-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.
2.5       Respon kaum Intelektual
Yang perlu diwaspadai bagi umat islam ialah perang budaya atau ghazwul fikr yaitu sebuah penjajahan yang ingin mengubah dan menghilangkan identitas kaum muslimin dan arah pikirannya, atau dalam arti memindahkan pada sekularisme. Sesungguhnya model penjajahan ini sangat berbahaya dari perang militer. Sebab perang militer hanya menduduki sebuah wilayah, sedangkan perang budaya dan pemikiran menjajah akal dan jiwa. Musuh dan penjajah yang licik mencoba memalingkan kaum muslimin dari agamanya dengan cara membiarkan umat islam terlena dan lalai dengan memformat pemimpin masa depan untuk kepentingan mereka. Dengan menanamkan budaya dan pemikiran mereka yang lezat yang sekaligus ditanamkam rasa taat dan patuh kepada tradisi mereka serta pengkudusan kepada manhaj dan falsafahnya. Bukan dengan cara perang fisik, karena mereka tahu, jika dilaksanakan akan menimbulkan perlawan keras dari masyarakat islam . Walaupun demikian, sesungguhnya tabiat Islam, dengan Kitab Al-Qur’annya yang terjaga, sunnah Nabinya yang memberi penjelasan, sejarah Nabinya yang dinamis, petunjuk sahabat-sahabatnya yang terdidik, dan dengan kepahlawanan para ulama salaf dan akhlak mereka yang memberi petunjuk, tidak mungkin akar-akarnya akan tumbang. Islam tenggelam pada satu kaum, namun dia akan muncul pada kaum yang lain. Maka sesungguhnya tak mengherankan jika Allah swt. selalu menyiapkan bagi muslimin, orang-orang yang selalu siap untuk melakukan perlawanan pada orang-orang yang membawa perang budaya dan pemikiran. Allah swt. Berfirman : “Diantara orang-orang mukmin, ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepad Allah swt. Maka diantara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka (pula) yang menunggu-nunggu, dan tidak seeikit pun mereka mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab:23)




2.6       Aspek-Aspek Pembaharuan Dalam Islam
            Adapun aspek-aspek pembaharuan dalam islam adalah:
1.    Aspek Syariah.
Dalam aspek syariah yaitu dibukanya pintu ijtihad karena pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang  sejak abad pertengahan, dikunci dengan arus deras pemikiran konservatif para ulama yaitu:
a.       Eksklusifisme.
Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan fihak lain.
b.      Subjektifisme.
Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan oleh kelompok mana atau tokoh siapa.
c.       Determinisme.
Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas, dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.

2.    Aspek Politik

Dibentuknya Negara dengan Republik dengan diatur Undang-Undang Dasar dengan mnghapus sistem kerajaan atau kekhalifaan/kesultanan dan Negara masih memainkan peranan kunci kontrol agama melalui Direktorat Jenderal Urusan Keagamaan dibawah naungan kementrian atau pardana menteri. Hal ini serperti yang terjadi pada Turki dengan presidennya Mustafa Kemal Attaturk.



3.    Aspek Tafsir

Ridla memelopori terbitnya majalah Al-Manar yang memuat pikiran-pikiran pembaruan, lebih-lebih pemikiran Muhammad Abduh. Dia bahkan mengajak umat Islam untuk membarui tafsir atau pemahanan tentang Al-Qur’an, tidak jumud sebagaimana ulama-ulama tradisional. Karena itu, Ridla mengusulkan dan kemudian disetujui gurunya (Abduh) untuk menyusun tafsir Al-Qur’an yang kemudian dimuat secara rutin dalam Al-Manar. Lahirlah Tafsir Al-Manar yang memuat tafsir Abduh tentang ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi karena Abduh wafat terhenti sampai ayat ke-125 surat An-Nisaa’, yakni jilid III Tafsir Al-Manar. Selebihnya, Tafsir Al-Manar merupakan karya Rasyid Ridla baik berdasarkan pelajaran atau tafsir Muhammad Abduh sewaktu memberikan ulasan di Al-Azhar maupun murni tafsir Ridla sendiri. Dalam sejumlah hal, Ridla berbeda tafsir dengan Abduh, jika Abduh lebih “liberal” sedangkan Ridla cenderung “tekstual” dalam memahami ayat-ayat yang memerlukan penafsiran.

4.    Aspek Ideologi

Pembaharuan dalam aspek ideologi yaitu Pan Islamisme atau persatuan Islam sedunia yang digencarkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah, setelah itu diteruskan dengan lebih gencar oleh tokoh pemikir Islam yang bernama Jamaluddin Al Afghani (1839-1897). Untuk mencapai ide ini ia mendirikan Partai Nasional (Al-Hizb al-Wathani) di Mesir, tujuan memperjuangkan pendidikan universal, menyelenggarakan kebebasan pers, dan sebagainya. Gerakan ini pada tahun 1838 M telah membangkitkan semangat umat islam dalam menggalang persatuan dan kesatuan dalam menentang penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat.
Menurut Jamaluddin, untuk pertahanan Islam, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang dibawah panji bersama dan juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri islam. Dengan ide yang demikian, ia dikenal atau mendapat julukan bapak nasionalisme dalam Islam.
Gagasan atau ide Pan Islamisme yang digelorakan oleh jamaluddin disambut oleh Raja Turki Usmani yang bernama Abd. Hamid II (1876-1909) dan juga mendapat sambutan yang baik di negeri-negeri Islam. Akan tetapi setelah Turki Usmani kalah dalam perang dunia pertama dan kekhalifahan dihapuskan oleh Musthofa Kemal seorang tokoh yang mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada Negara kebangsaan.

5.    Aspek Pendidikan
Dalam bidang pendidikan ummat islam banyak melakukan perubahan pendidikan dengan memasukkan pelajaran umum dan bahkan di Turki oleh Mustafa Kemal pada tahun 1924 disahkannya undang-undang penyatuan pendidikan yang berisikan :
a.       Menghapus segala bentuk pengawasan atas sekolah oleh lembaga-lembaga islam dan tugas pengawasan diserahkan kepada kementriam pemdidikan.
b.      Sedikit demi sedikit pelajaran agama dikurangi dalam kurikulum sampai akhir totalnya dihapus pada tahun 1935.[1][14]
Di Mesir Muhammad Ali Pasha sangat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu, pada tahun 1815 M mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik tahun 1816 M, Sekolah Kedokteran tahun 1827 M, Sekolah Apoteker tahun 1829 M, Sekolah Pertambangan tahun 1834 M, dan Sekolah Penerjemahan tahun 1836 M. Selain itu, ia juga banyak mengirim pelajar ke Perancis untuk belajar pengetahuan berupa sains dan teknologi Barat di Perancis.

6.    Aspek kebudayaan

Aspek kebudayaan pembaharuannya meliputi:
a.         Pakaian keagamaan diganti dengan pakaian keagamaan
b.         Diharuskan nama memakai nama belakang seperti halnya orang barat
c.         Hari libur mingguan dirubah menjadi hari minggu, sementara sebelumnya hari Jum’at.
Ketiga hal ini berlaku di daerah Turki daerah lainnya seperti Indonesia pada point ketiga diatas.

7.    Bidang Ekonomi

Kemunduran dibidang ekonomi, karena ketidak siapan umat islam menerima peradaban Barat dan kukuhnya memegang tradisi dan institusi yang telah usang. Kemunduran ini dapat dihindari dengan mengambil alih sistem ekonomi Barat seperti kapitalisme, liberalisme dan indivudualisme, bukan saja bentuk pemikiran liberal Barat dan teknologi yang diambil tetapi juga sikap mental yang ketimuran yang dipengaruhi paham fatalisme dan rasa benci akan perubahan harus dihilangkan. Misalnya Di Mesir Muhammad Ali Pasha  ide pembaharuannya di bidang ekonomi yaitu Pengambil-alihan pemilikan tanah oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan pembangunan negara. Dan untuk menjaga kesuburan tanah Mesir, ia membangun sistem irigasi, sehingga hasil pertanian menjadi lebih baik.

2.7       Pengaruh Pembaharuan Islam di Indonesia

Beragamnya corak pemikiran keagamaan yang berkembang dalam sejarah Islam di Indonesia—dari Islam yang bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neo-modernis—dengan jelas memperteguh kekayaan khazanah keislaman negeri ini. Fenomena ini juga membuktikan beragamnya pengaruh yang masuk ke dalam wacana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara ini.[i][i] Dalam perspektif sejarah perkembangan intelektual, hal itu, tak pelak lagi, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran visi dan orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan di kalangan Muslim Indonesia.
Pola pergeseran tersebut, bisa dimulai dari penjelasan Martin van Bruinessen, seorang sarjana Belanda yang ahli dalam kajian Islam di Indonesia,  bahwa pada masa-masa awal berkembangnya Islam di Nusantara sejak abad ke-13 M corak Islam yang berkembang adalah Islam yang bernuansa sufistik. Bentuk Islam yang seperti itu juga mempengaruhi para pemikir-pemikir Islam pada masa tersebut hingga setidaknya empat abad kemudian. Lebih tepatnya, ia memberikan penilaian seperti berikut ini:

“Wajah Islam di Indonesia beraneka ragam, dan cara kaum Muslim di negeri ini menghayati agama mereka bermacam-macam. Tetapi, ada satu segi yang sangat mencolok sepanjang sejarah kepulauan ini: untaian kalung mistik yang begitu kuat mengebat Islamnya! Tulisan-tulisan paling awal karya Muslim Indonesia bernapaskan semangat tasawuf…”[ii][ii]

Pada saat ditengarai munculnya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam, sebagai akibat dari hubungan kalangan terpelajar Nusantara dan Timur Tengah pada abad ke-17 dan 18 M, pengaruh pemikiran sufistik pada berbagai kalangan Muslim masih cukup kuat. Hal ini ditandai dengan masih berkembangnya berbagai ajaran kelompok tarekat dan sufi di Nusantara. Yang penting dicatat di sini adalah bahwa, untuk tujuan penelitian ini, pada masa-masa ini Islam cenderung masih lebih bermakna sebagai sesuatu yang dipeluk, diyakini,  dan dijalankan meskipun jumlah orang yang mendalami Islam cukup banyak, sebagian di antaranya bahkan di Timur Tengah. Maksudnya, pun jika Islam dipelajari, hal itu lebih sebagai sebuah upaya untuk “mempertebal” iman, dan “meningkatkan” kesalehan seseorang yang mempelajarinya, dengan ruang lingkup studi yang terkadang lebih spesifik dan pendekatan yang normatif sifatnya.
Sementara itu, menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20—ketika bangsa Indonesia, termasuk kalangan Muslim terpelajarnya berkenalan dengan ide-ide Barat secara lebih intensif—telah secara signifikan mempengaruhi cara pandang masyarakat Islam, terutama para cendekiawannya, untuk lebih memahami dan mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam realitas sosial mereka. Dalam konteks ini,  muncul sejumlah pemikir Muslim Indonesia seperti Moh. Natsir dan Agus Salim, dan beberapa dekade sebelumnya telah muncul berbagai gerakan pembaharuan Islam seperti Muhammadiyah dan Persis yang sudah mulai melibatkan pemikiran keislaman mereka dengan berbagai tantangan sosial dan budaya bahkan kebangsaan yang mereka hadapi saat itu. Namun demikian, karena pada saat yang hampir bersamaan juga muncul pengaruh pemikiran Islam dari luar, khususnya negeri-negeri Arab, corak pemikiran Islam ini lebih cenderung puritan, sehingga terkadang juga disebut ortodoks.[iii][iii] Tidaklah mengherankan, meskipun sudah berkenalan dengan gagasan-gagasan modernisme yang sekuler, masih ditemukan ide-ide puritan mengenai wawasan keagamaan dan kebangsaan yang secara ideologis mencita-citakan negara "Islam". Kecenderungan seperti ini cukup dominan mewarnai corak pemikiran keagamaan kalangan yang kemudian sering disebut sebagai Muslim modernis awal tersebut.



BAB III
PENUTUP
Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran lingkungan, menipisnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, serta pembauran kultural akibat canggihnya informasi dan komunikasi. Semua ini memiliki dampak terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat dihindari kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemahaman ajaran agama. Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih meningkatkan ijtihad dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga arahnya.
Disamping itu kita harus waspada terhadap apa yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang licik penuh dengan intrik yaitu Nashrani dan Yahudi, karena mereka tidak akan bertekuk lutut pada Islam, sampai umat islam patuh pada mereka. Hanya kepada Allah s.w.t. kami memohon agar kita diberi kekuatan, istiqamah dalam mengarungi kehidupan ini.
Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin….







Daftar Pustaka
Esposito, L John. 1996. Ancaman Islam Mitos Atau Realitas?.    Bandung : Mizan
Abidin, Zainal. Cetakan ke 4 2006. Filsafat Manusia ( Memahami Manusia Melalui Filsafat). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, Harun. 2002. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.Jakarta : Penerbit UniversitasIndonesia (UI-Press).
Mustofa, A. 2004. Filsafat Islam.Bandung : CV Pustaka Setia.
Sharif, M. 1979. Alam Pikiran Islam.Bandung : CV Diponogoro
Nuruddin, Isa, Muhammad. 1995. Islam dan Filsafat Perental.      Bandung : Mizan











1 komentar:

  1. mas jangan pakek fotonya mas imam. seakan - akan PSHT nantinya adalah organisasi yang beraveliasi

    BalasHapus