Disusun
Oleh :
Nama :
Pajar Pamuji
NIM : 212.02.072
Kelas :
1A2
Jurusan :
Akuntansi
Dosen Pembimbing : Susmiati S.Ag
SEKOLAH TINGGI ILMU
EKONOMI MUSI RAWAS
(STIE-MURA) LUBUKLINGGAU
TAHUN 2012-2013
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRROHIIM
Puji syukur saya panjatkan kehairat Allah swt. Semoga rahmat dan keselamatan diimpahkan kepada nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya. Al-hamdulillah makalah yang berjudul “Modernisme Dalam Pandangan Islam” merupakan salah satu tugas mata kuliah Filsafat, dapat tersaji, walaupun dalam pengerjaannya mendapatkan hambatan dikarenakan keterbatasan ilmu yang saya miliki.
Puji syukur saya panjatkan kehairat Allah swt. Semoga rahmat dan keselamatan diimpahkan kepada nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya. Al-hamdulillah makalah yang berjudul “Modernisme Dalam Pandangan Islam” merupakan salah satu tugas mata kuliah Filsafat, dapat tersaji, walaupun dalam pengerjaannya mendapatkan hambatan dikarenakan keterbatasan ilmu yang saya miliki.
Semoga bahan
ajar ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa STIE MURA, serta menjai pedoman bagi
mahasiswa STIE MURA Yang belajar PAI.
Demikian
makaah yang saya buat saya ucapkan terimah kasih.
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan terdiri dari :
1.1
Latar
Belakang
1.2
Perumusan
Masalah
1.3
Ruang
Lingkup Pembahasan
1.4
Tujuan
Bab II Pembahasan terdiri dari :
2.1 Pengertian Modern
2.2 Sejarah Modernisasi
2.3 Hakikat Abad modern
2.4 Kontak Islam Dalam Modernisasi
2.5 Respon Kaum Intelektual
2.6 Aspek-Aspek Pembaharuan Dalam Islam
2.7 Pengaruh Pembaharuan Islam di Indonesia
Bab III Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam perbincangan tentang modernisasi telah menyita Perhatian dan
konsentrasi para sarjana baik Muslim maupun non-Muslim dibuktikan dengan telah
lahirnya beragam karya dan pemikiran dibidang ini menunjukkan modernisasi telah
mendapat tempat yang cukup proporsional dalam kajian global atau dunia yang
luas ini, bahkan ditambah lagi dengan intensnya upaya-upaya pembaharuan tersebut
dilakukan secara serentak dan kompak baik dunia Islam sendiri maupun di luar
dunia Islam, merupakan suatu kemajuan dan arus deras yang tidak dapat
dihentikan demi menciptakan perbaikan dalam segala bidang kemanusiaanya.
Sebagaimana gerakan modernis Islam yang berusaha mejembatani jurang pemisah
antara orang-orang Islam tradisional dengan para pembaharu yang sekuler.
Modernisasi Islam seperti tanggapan Muslim modern terhadap Barat pada abad
ke-20 mempunyai sikap yang ambivalen terhadap Barat, yaitu tertari sekaligus
menolak. Eropa dikagumi karena kekuatan, teknologi, ideal politiknya tentang
kebebasan, keadilan dan persamaan, tetapi sering juga ditolak karena tujuan dan
kebijaksanaan imperialisnya.
Untuk itulah dalam tulisan yang singkat ini akan mencoba melacak tradisi
modernisasi dalam dunia Islam maupaun medernisasi dalam pandangan Islam. dan
juga bagaimana hubungan Islam dengan negara modern, yang jelas sangat berkaitan
dengan kemajuan dicapai Barat dalam segala bidangnya sebagai indikasi sederhana
bahwa “genderang” modernisasi yang “ditabuh” di dunia Islam tidak dapat
dipisahkan dari mata rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan yang diukir
oleh dunia Barat.Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai langkah
negara barat yang ingin menguasai negara dan meyebarkan ideologinya.
1.2 PERUMUSAN
MASALAH
Dalam
menapaki problematika modern yang terjadi di permukaan bumi, hal ini memberi
imbas kepada tatanan umat islam, mau tidak mau umat islam sendiri harus membuka
mata terhadap gejala yang terjadi, baik itu bersifat politik, social, budaya
dan lain-lain.
Melihat realita kehidupan muslim pada era modernisasi sangat memprihatinkan karena atribut-atribut umat islam berserakan seperti sampah, nilai-nilai luhur ajaran islam semakin luntur terbawa arus modernisasi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengkaji latar belakang sejarah serta bagaimana pandangan islam terhadap modernisasi.
Pengalaman sejarah membuktikan bahwasannya umat Islam tidak hanya mengalir bagai air, tetapi berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits, kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
Melihat realita kehidupan muslim pada era modernisasi sangat memprihatinkan karena atribut-atribut umat islam berserakan seperti sampah, nilai-nilai luhur ajaran islam semakin luntur terbawa arus modernisasi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengkaji latar belakang sejarah serta bagaimana pandangan islam terhadap modernisasi.
Pengalaman sejarah membuktikan bahwasannya umat Islam tidak hanya mengalir bagai air, tetapi berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits, kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
1.3 RUANG
LINGKUP PEMBAHASAN
Secara
periode waktu, studi ini dibatasi pada perkembangan modernisme Islam mulai dari
pengertian modern serta perkembangan modern dalam dunia Islam. Alasan
pembatasan tersebut didasarkan pada modernisasi dalam arti yang benar, yaitu
yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan
ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an.
1.4 TUJUAN
1.4 TUJUAN
·
Memperkaya wawasan keilmuan.
· Mengetahui
perkembangan sejarah modernisasai islam serta tahu bagaimana cara mengisi pada abad modernisasi ini
yang penuh dengan kamuflase.
·
Mempertinggi ghirah jihad dalam
mempertahankan ajaran-ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Modern
Istilah
“modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang
artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman”
(kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman
modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan
bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi
(cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal).
Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap
bidang kehidupan. Ada yang mengartikan modern diambil dari bahasa arab
mudlirrun, bentuk isim fail artinya yang memadlaratkan, dengan artian walaupun
cara pandang dan berfikir mengalami kemajuan tetapi dapat menghilangkan jati
diri seorang muslim, karena disana pendewaan terhadap akal sangat dominan. Di
bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta
pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai
industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial
budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem
administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara
berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui
buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang
canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan. Dengan segala keunggulan
peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer.
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original
atau asli melainkan “diekspor” atau di amabil dari bahasa asing
(modernization), berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk
kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pengertian yang
luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek
kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim,
dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran,
gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat,
isntitusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan
pendapat- pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan
modern. Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan modernisasi lebih
cenderung kepada suatu cara pandang meminjam defenisi Harun Nasution,
modernisasi adalah mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah
faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainnya untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Dalam perspektif posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, bahwa
modernisasi bisa disebut sebagai semangat (elan) yang diandaikan
ada pada menyemangati masyarakat intelektual dan semangat yang dimaksud adalah
semangat untuk progress, semangat untuk meraih kemajuan, dan untuk humanisasi
manusia yang dilandasi oleh semangat keyakinan yang sangat optimistik dari kaum
modernis akan kekuatan rasio manusia. Sedangkan Fazlur Rahman, sarjana
asalPakistan mendefenisikan modernisasi dengan “usaha-usaha untuk melakukan
hormonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang
berlangsung di dunia Islam”. Mukti Ali, tepat disebut sebagai orang yang
mewakili sarjanaIndonesia mengartikan modernisasi sebagai “upaya menafsirkan
Islam melalui pendekatan rasional untuk mensesuaikannya dengan perkembangan
zaman dengan melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
dunia modern yang sedang berlangsung”.
2.2 Sejarah
Modern
Gerakan
modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani
(1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai
bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa,
dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke
mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan
dan modernisasi Islam. Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari
Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa
(Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi
pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit
13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab,
Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan
artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas
dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan
Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya,
majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit
pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris
melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani
(yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin)
juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa
kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah
Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di
kalangan umat Islam. Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih
tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama
Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor
pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun
1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada
gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
2.3 Hakikat
Abad Modern
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai
hasil kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya
kontak itu, umat Islam abad XIX sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran
diperbandingan dengan Barat. Sebelum periode modern, kontak sebenarnya sudah
ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai daerah kekuasaan di daratan
Eropa dengan beberapa negara Barat. Diketika negara-negara itu mulai memasuki
masa kemunduran. Sebagai akibat dari perubahan itu, Kerajaan Usmani, yang
biasa menang dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan
Barat. Hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani menyelidiki rahasia kekuataan
Eropa yang baru muncul itu. Menurut pemikiran, rahasinya terletak dalam
kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa. Oleh karena itu usaha pembaharuan
dipusatkan dalam lapangan militer kerajaan Usmani. Bantuan ahli-ahli Eropa
diminta dan pada permulaan abad ke delapan belas Mesehi datanglah ke Istambul
ahli-ahli seperti De Rochefort dari Perancis, Macarthy dari
Irlandia, Ramsay dari Scotlandia dan Comte de Benneval dari
Perancis. Yang akhir ini masuk Islam dengan memakai nama Humbaraci Pasya.
Pembaharuan yang yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak
ada artinya. Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian
yang membawa kepada perubahan besar di Turki. Seoarang terpelajar Islam
memberikan gambaran pada abad kesembilan belas, Ia mengatakan betapa
terbelakangnya umat Islam ketika itu. Kontak dengan kebudayaan Barat yang lebih
tinggi ini ditambah dengan cepatnya kekuatan Mesir dapat dipatahkan oleh
Napoleon, membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir untuk mengadakan pembaharuan.
Dimana usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad Ali Pasya (1765-1848 M) seorang
perwira Turki.
2.4 Kontak
Islam Dengan Modernisasi
-
Masyarakat
Arab
Semangat
modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta
mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh
izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini
membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka
bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru
dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan.
Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta
pada bulan Maret 1911. Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati
menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang
berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad
Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang
lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang
di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya
di Jawa.
-
Muhammadiyah
Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam
yang terbesar adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan
(1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib
mesjid kesultanan Yogyakarta dengan julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad
Dahlan sudah membaca majalah Al-`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa.
Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan
tahun 1903 dia sengaja ke Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad
Dahlan makin akrab dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan
dengan Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan
membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau, terutama
dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji Rasul”. Anak Haji
Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid, kelak menjadi
tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama Hamka dan A.R.Sutan
Mansur.
Pada
dasawarsa pertama abad ke-20 di Jawa berdiri tiga organisasi. Selain Jam`iyat
al-Khair yang dipelopori masyarakat Arab, tumbuh pula dua organisasi pribumi,
yaitu Budi Utomo tahun 1908, serta Sarekat Islam tahun 1911. Ahmad Dahlan
menjadi anggota yang aktif dari ketiga organisasi tersebut. Akan tetapi dia
merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang benar-benar berorientasi kepada
gerakan modernisme Islam. Ahmad Dahlan menilai Budi Utomo tidak memperjuangkan
Islam, sedangkan Sarekat Islam dilihatnya menjurus ke bidang politik. Dalam
suatu pertemuan antara Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, kedua tokoh ini sepakat
untuk berbagi tugas dengan masing-masing mendirikan organisasi: Ahmad Surkati
menghimpun masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat pribumi. Maka
pada hari Senin Legi tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330), Kyai Haji
Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, yang berarti
“penegak ajaran Nabi Muhammad”. Organisasi ini berlambang matahari yang dihiasi
dua kalimat syahadat, persis seperti hiasan gambar matahari di pintu Ka`bah!
Dengan lambang matahari, diharapkan Muhammadiyah menjadi sumber energi yang
senantiasa bersinar untuk menerangi umat Islam di Indonesia. Menurut Ahmad
Dahlan, organisasi Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah “hendaklah ada
dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda,
yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi
eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar”
(ya’muruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal.
Itulah sebabnya Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah: (1)
memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam; serta
(2) memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam
kalangan sekoetoe-sekoetoenja.Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah menetapkan
garis perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da`wah, sosial, dan
pendidikan. Dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” serta “siapa
menanam dia mengetam”, Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari apa
yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat). Muhammadiyah mempelopori
penentuan arah kiblat secara eksak; penggunaan metode hisab untuk menentukan
awal dan akhir puasa Ramadhan; shalat hari raya di lapangan; pengumpulan dan
pembagian zakat fitrah dan daging kurban kepada fakir miskin; pemberian khutbah
dalam bahasa yang difahami jemaah; pelaksanaan shalat Jum`at dan tarawih yang
sesuai dengan cara Nabi; penghilangan bedug dari mesjid; penyederhanaan upacara
kelahiran, khitanan, perkawinan, dan pengurusan jenazah; serta masih banyak
lagi usaha-usaha Muhammadiyah yang mengembalikan umat Islam kepada ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, di samping perkumpulan Siswapraja Wanita dan Siswapraja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’atul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932. Sampai tahun 1920 organisasi Muhammadiyah dimatangkan di Yogyakarta dan sekitarnya. Sesudah itu Muhammadiyah mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang di beberapa kota: Surakarta (1920), Surabaya dan Madiun (1921), serta Pekalongan, Garut dan Jakarta (1922). Setelah Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh sahabatnya, Kyai Haji Ibrahim, yang memimpin organisasi sampai tahun 1932. Pada periode K.H.Ibrahim ini Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa: Sumatera (1925), Kalimantan (1927), dan Sulawesi (1929).
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, di samping perkumpulan Siswapraja Wanita dan Siswapraja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’atul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932. Sampai tahun 1920 organisasi Muhammadiyah dimatangkan di Yogyakarta dan sekitarnya. Sesudah itu Muhammadiyah mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang di beberapa kota: Surakarta (1920), Surabaya dan Madiun (1921), serta Pekalongan, Garut dan Jakarta (1922). Setelah Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh sahabatnya, Kyai Haji Ibrahim, yang memimpin organisasi sampai tahun 1932. Pada periode K.H.Ibrahim ini Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa: Sumatera (1925), Kalimantan (1927), dan Sulawesi (1929).
Demikianlah
akhirnya Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara, sehingga dalam Kongres
Muhammadiyah ke-22 di Semarang bulan Juni 1933 dengan bangga Pimpinan Pusat
(Hoofdbestuur) melaporkan bahwa “Moehammadijah-lah persjarikatan jang
pertama-tama banjak tjabang dan groepnja, tersiar moelai dari Sabang sampai
Merauke dan dari Teloekbetoeng sampai Manado dan Ternate”.
Muhammadiyah
merupakan gerakan modernisme Islam yang mempunyai dampak paling luas di
Indonesia. Pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan,
terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa
Muhammadiyah menyimpang dari garis “ahlus-sunnah wal-jama`ah”. Akan tetapi
lambat laun masyarakat menyadari bahwa modernisasi memang suatu keharusan.
Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru diam-diam. Sekolah-sekolah
modern yang dahulu menjadi tuduhan kepada Muhammadiyah “meniru Belanda”
terpaksa didirikan orang juga. Kepanduan yang dahulu dianggap “tasyabbuh”
(menyerupai orang kafir) di mana-mana telah tumbuh. Golongan-golongan yang
dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali
meniru jejak Muhammadiyah. Sejak mulai berdiri Muhammadiyah bukanlah organisasi
politik. “Tidak mencampuri politik”, itulah politiknya! Ia semata-mata gerakan
da`wah. Akan tetapi tidaklah dapat dinafikan pengaruh Muhammadiyah dalam perjuangan
bangsa. Sebagai satu-satunya organisasi di zaman kolonial yang tersebar luas
dari Sabang sampai Merauke, maka kongres-kongres Muhammadiyah yang berlangsung
setiap tahun sangat berperan dalam membina persatuan nasional. Apalagi bahasa
Melayu selalu digunakan dalam kongres-kongres tersebut, meskipun bahasa Melayu
saat itu belum dikukuhkan sebagai Bahasa Indonesia. Perjuangan di bidang
politik banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah
sebagai organisasi tidak berpolitik praktis. Cukuplah di sini disebutkan bahwa
ketika Republik Indonesia lahir tahun 1945 jabatan-jabatan strategis di negara
ini dipegang oleh “orang Muhammadiyah”, yaitu Presiden Sukarno, Panglima Besar
TNI Jenderal Sudirman, Jaksa Agung Kasman Singodimedjo, serta Menteri Agama
Muhammad Rasyidi. Beberapa tokoh Muhammadiyah ditetapkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional, yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan, Nyi Haji Siti Walidah Ahmad
Dahlan, Kyai Haji Fachruddin, dan Kyai Haji Mas Mansur.
- Kaum
Tradisionalis
Munculnya
gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi umat Islam
Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis.
Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama.
Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam masalah
hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700–767), mazhab
Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780–855). Kedua,
menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan Abu Mansur
al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran
Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111) dalam
masalah tasawuf. Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran
pertama dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk
seperlunya saja. Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk
membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan
Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu
pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU)
yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua
organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di
Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah
al-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua
organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.
2.5 Respon kaum Intelektual
Yang
perlu diwaspadai bagi umat islam ialah perang budaya atau ghazwul fikr yaitu
sebuah penjajahan yang ingin mengubah dan menghilangkan identitas kaum muslimin
dan arah pikirannya, atau dalam arti memindahkan pada sekularisme. Sesungguhnya
model penjajahan ini sangat berbahaya dari perang militer. Sebab perang militer
hanya menduduki sebuah wilayah, sedangkan perang budaya dan pemikiran menjajah
akal dan jiwa. Musuh dan penjajah yang licik mencoba memalingkan kaum muslimin
dari agamanya dengan cara membiarkan umat islam terlena dan lalai dengan
memformat pemimpin masa depan untuk kepentingan mereka. Dengan menanamkan
budaya dan pemikiran mereka yang lezat yang sekaligus ditanamkam rasa taat dan
patuh kepada tradisi mereka serta pengkudusan kepada manhaj dan falsafahnya.
Bukan dengan cara perang fisik, karena mereka tahu, jika dilaksanakan akan
menimbulkan perlawan keras dari masyarakat islam . Walaupun demikian,
sesungguhnya tabiat Islam, dengan Kitab Al-Qur’annya yang terjaga, sunnah
Nabinya yang memberi penjelasan, sejarah Nabinya yang dinamis, petunjuk
sahabat-sahabatnya yang terdidik, dan dengan kepahlawanan para ulama salaf dan
akhlak mereka yang memberi petunjuk, tidak mungkin akar-akarnya akan tumbang.
Islam tenggelam pada satu kaum, namun dia akan muncul pada kaum yang lain. Maka
sesungguhnya tak mengherankan jika Allah swt. selalu menyiapkan bagi muslimin,
orang-orang yang selalu siap untuk melakukan perlawanan pada orang-orang yang
membawa perang budaya dan pemikiran. Allah swt. Berfirman : “Diantara
orang-orang mukmin, ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepad Allah swt. Maka diantara mereka ada yang gugur, dan di antara
mereka (pula) yang menunggu-nunggu, dan tidak seeikit pun mereka mengubah
(janjinya).” (Al-Ahzab:23)
2.6 Aspek-Aspek
Pembaharuan Dalam Islam
Adapun aspek-aspek pembaharuan dalam
islam adalah:
1.
Aspek Syariah.
Dalam
aspek syariah yaitu dibukanya pintu ijtihad karena pintu ijtihad dan
rasionalisme tidak berkembang sejak abad
pertengahan, dikunci dengan arus deras pemikiran konservatif para ulama yaitu:
a.
Eksklusifisme.
Karena adanya pentokohan, bahkan
pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya
sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya
sendiri dan menolak keberadaan fihak lain.
b.
Subjektifisme.
Sebagai akibat lanjut dari
eksklusifisme, orang-orang kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektifitas
dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah tidak lagi didasarkan atas
persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan oleh kelompok mana atau
tokoh siapa.
c.
Determinisme.
Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas,
dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka
menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah
keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.
2.
Aspek Politik
Dibentuknya Negara dengan Republik dengan diatur
Undang-Undang Dasar dengan mnghapus sistem kerajaan atau kekhalifaan/kesultanan
dan Negara masih memainkan peranan kunci kontrol agama melalui Direktorat
Jenderal Urusan Keagamaan dibawah naungan kementrian atau pardana menteri. Hal
ini serperti yang terjadi pada Turki dengan presidennya Mustafa Kemal Attaturk.
3.
Aspek Tafsir
Ridla memelopori terbitnya majalah Al-Manar yang memuat
pikiran-pikiran pembaruan, lebih-lebih pemikiran Muhammad Abduh. Dia bahkan
mengajak umat Islam untuk membarui tafsir atau pemahanan tentang Al-Qur’an,
tidak jumud sebagaimana ulama-ulama tradisional. Karena itu, Ridla mengusulkan
dan kemudian disetujui gurunya (Abduh) untuk menyusun tafsir Al-Qur’an yang
kemudian dimuat secara rutin dalam Al-Manar. Lahirlah Tafsir Al-Manar yang
memuat tafsir Abduh tentang ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi karena Abduh wafat
terhenti sampai ayat ke-125 surat An-Nisaa’, yakni jilid III Tafsir Al-Manar.
Selebihnya, Tafsir Al-Manar merupakan karya Rasyid Ridla baik berdasarkan
pelajaran atau tafsir Muhammad Abduh sewaktu memberikan ulasan di Al-Azhar
maupun murni tafsir Ridla sendiri. Dalam sejumlah hal, Ridla berbeda tafsir
dengan Abduh, jika Abduh lebih “liberal” sedangkan Ridla cenderung “tekstual”
dalam memahami ayat-ayat yang memerlukan penafsiran.
4.
Aspek Ideologi
Pembaharuan
dalam aspek ideologi yaitu Pan Islamisme atau persatuan Islam sedunia yang
digencarkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah, setelah itu diteruskan
dengan lebih gencar oleh tokoh pemikir Islam yang bernama Jamaluddin Al Afghani
(1839-1897). Untuk mencapai ide ini ia mendirikan Partai
Nasional (Al-Hizb al-Wathani) di Mesir, tujuan memperjuangkan
pendidikan universal, menyelenggarakan kebebasan pers, dan sebagainya. Gerakan
ini pada tahun 1838 M telah membangkitkan semangat umat islam dalam menggalang
persatuan dan kesatuan dalam menentang penjajahan yang dilakukan oleh bangsa
Barat.
Menurut Jamaluddin, untuk pertahanan
Islam, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang dibawah panji
bersama dan juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional
negeri-negeri islam. Dengan ide yang demikian, ia dikenal atau mendapat julukan
bapak nasionalisme dalam Islam.
Gagasan atau ide Pan Islamisme yang
digelorakan oleh jamaluddin disambut oleh Raja Turki Usmani yang bernama Abd.
Hamid II (1876-1909) dan juga mendapat sambutan yang baik di negeri-negeri
Islam. Akan tetapi setelah Turki Usmani kalah dalam perang dunia pertama dan
kekhalifahan dihapuskan oleh Musthofa Kemal seorang tokoh yang mendukung
gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada Negara kebangsaan.
5.
Aspek Pendidikan
Dalam
bidang pendidikan ummat islam banyak melakukan perubahan pendidikan dengan
memasukkan pelajaran umum dan bahkan di Turki oleh Mustafa Kemal pada tahun
1924 disahkannya undang-undang penyatuan pendidikan yang berisikan :
a.
Menghapus segala bentuk pengawasan atas sekolah oleh lembaga-lembaga islam dan
tugas pengawasan diserahkan kepada kementriam pemdidikan.
b.
Sedikit demi sedikit pelajaran agama dikurangi dalam kurikulum sampai akhir
totalnya dihapus pada tahun 1935.[1][14]
Di
Mesir Muhammad Ali Pasha sangat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan.
Oleh karena itu, pada tahun 1815 M mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik
tahun 1816 M, Sekolah Kedokteran tahun 1827 M, Sekolah Apoteker tahun 1829 M,
Sekolah Pertambangan tahun 1834 M, dan Sekolah Penerjemahan tahun 1836 M.
Selain itu, ia juga banyak mengirim pelajar ke Perancis untuk belajar
pengetahuan berupa sains dan teknologi Barat di Perancis.
6.
Aspek kebudayaan
Aspek
kebudayaan pembaharuannya meliputi:
a.
Pakaian keagamaan diganti dengan pakaian keagamaan
b.
Diharuskan nama memakai nama belakang seperti halnya orang barat
c.
Hari libur mingguan dirubah menjadi hari minggu, sementara sebelumnya hari
Jum’at.
Ketiga
hal ini berlaku di daerah Turki daerah lainnya seperti Indonesia pada point
ketiga diatas.
7.
Bidang Ekonomi
Kemunduran dibidang ekonomi, karena ketidak siapan umat
islam menerima peradaban Barat dan kukuhnya memegang tradisi dan institusi yang
telah usang. Kemunduran ini dapat dihindari dengan mengambil alih sistem
ekonomi Barat seperti kapitalisme, liberalisme dan indivudualisme, bukan saja
bentuk pemikiran liberal Barat dan teknologi yang diambil tetapi juga sikap
mental yang ketimuran yang dipengaruhi paham fatalisme dan rasa benci akan
perubahan harus dihilangkan. Misalnya Di Mesir Muhammad Ali Pasha ide pembaharuannya di bidang ekonomi yaitu Pengambil-alihan
pemilikan tanah oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan
pembangunan negara. Dan untuk menjaga kesuburan tanah Mesir, ia membangun
sistem irigasi, sehingga hasil pertanian menjadi lebih baik.
2.7 Pengaruh Pembaharuan Islam di Indonesia
Beragamnya corak pemikiran keagamaan yang berkembang dalam sejarah Islam di
Indonesia—dari Islam yang bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan
modernis hingga neo-modernis—dengan jelas memperteguh kekayaan khazanah
keislaman negeri ini. Fenomena ini juga membuktikan beragamnya pengaruh yang
masuk ke dalam wacana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara ini.[i][i] Dalam perspektif sejarah perkembangan intelektual,
hal itu, tak pelak lagi, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran visi dan
orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan di kalangan Muslim Indonesia.
Pola pergeseran tersebut, bisa dimulai dari
penjelasan Martin van Bruinessen, seorang sarjana Belanda yang ahli dalam
kajian Islam di Indonesia, bahwa pada
masa-masa awal berkembangnya Islam di Nusantara sejak abad ke-13 M corak Islam
yang berkembang adalah Islam yang bernuansa sufistik. Bentuk Islam yang seperti
itu juga mempengaruhi para pemikir-pemikir Islam pada masa tersebut hingga
setidaknya empat abad kemudian. Lebih tepatnya, ia memberikan penilaian seperti
berikut ini:
“Wajah Islam di Indonesia beraneka ragam, dan cara kaum Muslim di negeri
ini menghayati agama mereka bermacam-macam. Tetapi, ada satu segi yang sangat
mencolok sepanjang sejarah kepulauan ini: untaian kalung mistik yang begitu
kuat mengebat Islamnya! Tulisan-tulisan paling awal karya Muslim Indonesia
bernapaskan semangat tasawuf…”[ii][ii]
Pada saat ditengarai munculnya ide-ide pembaharuan
pemikiran Islam, sebagai akibat dari hubungan kalangan terpelajar Nusantara dan
Timur Tengah pada abad ke-17 dan 18 M, pengaruh pemikiran sufistik pada
berbagai kalangan Muslim masih cukup kuat. Hal ini ditandai dengan masih
berkembangnya berbagai ajaran kelompok tarekat dan sufi di Nusantara. Yang
penting dicatat di sini adalah bahwa, untuk tujuan penelitian ini, pada
masa-masa ini Islam cenderung masih lebih bermakna sebagai sesuatu yang
dipeluk, diyakini, dan dijalankan
meskipun jumlah orang yang mendalami Islam cukup banyak, sebagian di antaranya
bahkan di Timur Tengah. Maksudnya, pun jika Islam dipelajari, hal itu lebih
sebagai sebuah upaya untuk “mempertebal” iman, dan “meningkatkan” kesalehan
seseorang yang mempelajarinya, dengan ruang lingkup studi yang terkadang lebih
spesifik dan pendekatan yang normatif sifatnya.
Sementara itu, menjelang akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20—ketika bangsa Indonesia, termasuk kalangan Muslim terpelajarnya
berkenalan dengan ide-ide Barat secara lebih intensif—telah secara signifikan
mempengaruhi cara pandang masyarakat Islam, terutama para cendekiawannya, untuk
lebih memahami dan mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam realitas
sosial mereka. Dalam konteks ini, muncul
sejumlah pemikir Muslim Indonesia seperti Moh. Natsir dan Agus Salim, dan
beberapa dekade sebelumnya telah muncul berbagai gerakan pembaharuan Islam
seperti Muhammadiyah dan Persis yang sudah mulai melibatkan pemikiran keislaman
mereka dengan berbagai tantangan sosial dan budaya bahkan kebangsaan yang
mereka hadapi saat itu. Namun demikian, karena pada saat yang hampir bersamaan
juga muncul pengaruh pemikiran Islam dari luar, khususnya negeri-negeri Arab,
corak pemikiran Islam ini lebih cenderung puritan, sehingga terkadang juga
disebut ortodoks.[iii][iii] Tidaklah mengherankan, meskipun sudah berkenalan
dengan gagasan-gagasan modernisme yang sekuler, masih ditemukan ide-ide puritan
mengenai wawasan keagamaan dan kebangsaan yang secara ideologis mencita-citakan
negara "Islam". Kecenderungan seperti ini cukup dominan mewarnai
corak pemikiran keagamaan kalangan yang kemudian sering disebut sebagai Muslim
modernis awal tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kemajuan
sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad ke-21 dengan segala
persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran lingkungan, menipisnya sumber
daya alam, ledakan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, serta pembauran
kultural akibat canggihnya informasi dan komunikasi. Semua ini memiliki dampak
terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat
dihindari kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap
pemahaman ajaran agama. Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat
dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk
mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap
terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar
atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan
gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih
meningkatkan ijtihad dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan
tidak terduga arahnya.
Disamping
itu kita harus waspada terhadap apa yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang
licik penuh dengan intrik yaitu Nashrani dan Yahudi, karena mereka tidak akan
bertekuk lutut pada Islam, sampai umat islam patuh pada mereka. Hanya kepada
Allah s.w.t. kami memohon agar kita diberi kekuatan, istiqamah dalam mengarungi
kehidupan ini.
Al-hamdulillahi
rabbil ‘alamiin….
Daftar Pustaka
Esposito,
L John. 1996. Ancaman Islam Mitos Atau Realitas?.
Bandung : Mizan
Abidin,
Zainal. Cetakan ke 4 2006. Filsafat Manusia ( Memahami Manusia Melalui Filsafat).
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Nasution,
Harun. 2002. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.Jakarta : Penerbit
UniversitasIndonesia (UI-Press).
Mustofa,
A. 2004. Filsafat Islam.Bandung : CV Pustaka Setia.
Sharif,
M. 1979. Alam Pikiran Islam.Bandung : CV Diponogoro
Nuruddin,
Isa, Muhammad. 1995. Islam dan Filsafat Perental.
Bandung : Mizan
mas jangan pakek fotonya mas imam. seakan - akan PSHT nantinya adalah organisasi yang beraveliasi
BalasHapus